TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah untuk mencari solusi lain jika dihadapkan pada jebolnya kuota BBM bersubsidi.
Selama ini, pemerintah hanya mengambil kebijakan dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Mustolihin Madjid, Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), mengatakan seharusnya pemerintah bisa menekan kebocoran penggunaan BBM subsidi. Hal itu untuk menghindari keputusan menaikkan harga BBM sebagai kebiasaan, setelah penggunaannya dinilai melebihi kuota.
"Kalau memang sekarang BBM mau naik silakan. Tapi juga harus dipikirkan bagaimana keputusan tersebut tidak menjadi kebiasaan," tegasnya, Kamis (30/5/2013).
Dia mengatakan, dampak kenaikan harga BBM secara langsung dan tak langsung pasti akan mengenai kalangan usahawan semua kelas. Mengingat keputusan tersebut dapat dipastikan mempengaruhi harga sejumlah kebutuhan.
"Harus juga dihitung ulang dengan tepat, berapa produksi minyak kita dan berapa kebutuhannya. Jika tidak terjadi kebocoran, saya masih yakin produksi minyak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang menyebabkan kuota jebol itu bukan hanya serapan di masyarakat, tapi juga karena adanya kebocoran di sana-sini," tegas Mustolihin.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tidak mempermasalahkan rencana kenaikan harga BBM. Dengan catatan, keputusan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah memang bersifat keharusan.
"Saya yakin pemerintah sudah memperhitungkannya. Jika memang keputusan (kenaikan harga BBM) itu harus diambil untuk menghindari negara bangkrut, silahkan," katanya.
Lebih lanjut, terkait rencana pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM subsidi, Said menolak hal itu. Karena sifatnya yang tidak mendidik, BLSM dinilai bulan solusi yang tepat.
"BLSM itu hanya obat masuk angin saja, saya tidak setuju," katanya.