By Richard Susilo *)
TRIBUNNEWS.COM - Ijime adalah mengolok-olok atau mengasari seseorang (bullying). Banyak sekali orang meninggal di Jepang hanya karena di Ijime. Bahkan anak sekolah dasar (SD) di Jepang belum lama ini meninggal bunuh diri hanya gara-gara di Ijime teman-teman sekolahnya sesama SD.
Ada pula kasus Ijime menarik. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jepang kena di Ijime oleh Kepala Keuangan. Gara-gara gajinya yang sudah satu juta yen lebih, dinaikkan 50.000 yen tidak mau diterima, lalu saat terima gaji bulan berikutnya, gaji tidak dikirimkan, alias nol, tidak dapat gaji.
Dia tak mau terima tambahan gaji karena merasa prihatin dengan kesejahteraan rakyat Jepang saat ini. Justru rakyat yang perlu dinaikan kesejahteraan sosialnya, bukan dengan cara menaikan gaji dia. Uang lebih dibutuhkan buat orang tua atau kalangan usia lanjut (lansia) ketimbang gaji dia. Begitulah pikirnya, eh, malah di Ijime oleh kalangan sekelilingnya.
Jepang adalah negara Ijime paling berat. Sakit sekali kalau kita sudah di Ijime dan tak heran bila banyak yang bunuh diri gara-gara di Ijime. Bunuh diri di Jepang sedikitnya 94 orang setiap hari atau 34.427 orang bunuh diri pada tahun 2003 sesuai data kepolisian Jepang. Jumlah tersebut terus menerus semakin naik setiap tahun. Dari jumlah bunuh diri tersebut diperkirakan akibat di Ijime lalu bunuh diri sekitar 0,5 persen.
Jumlah kasus ijime di Jepang sebanyak 124.898 kasus per 31 Maret 2007 menurut data Kementerian Pendidikan Jepang. Dari jumlah kasus itu , 35 persen di kalangan SLTA, 40 persen di kalangan SLTP dan 25 persen kalangan SD. Sedangkan yang bunuh diri dari 124.898 kasus itu, 171 orang bunuh diri.
Akibat tinggi jumlah bunuh diri, maka bulan Juni 2007, pemerintah Jepang mengeluarkan perundangan baru untuk mengurangi jumlah bunuh diri. Dengan peraturan baru itu diharapkan tahun 2016 jumlah orang yang bunuh diri turun 20 persen.
Peraturan baru itu menekankan agar pemerintah lebih mementingkan faktor sosial seperti penanganan para penganggur, penanganan orang yang terbeban hutang berat, dan sebagainya. Penanganan dini diharapkan dapat dilakukan terhadap orang yang terkena stress berat tersebut supaya tidak memutuskan tali nyawanya akibat masalah sosial itu.
Menekankan faktor sosial berarti perimbangan anggaran pemerintah Jepang akan semakin besar ke sektor kesejahteraan sosial
Lansia sudah sangat banyak saat ini di Jepang. Sementara dokter sangat kurang dan perawat juga sangat kurang. Itu sebabnya Jepang sangat membutuhkan tenaga asing.
Kebetulan saja Indonesia yang pertama kali mendapat pengesahan dari parlemen Jepang mengenai pengiriman tenaga perawat dan penopang lansia ke Jepang. Menyusul diperkirakan Filipina akan mendapatkan pengesahan serupa.
Menjadi pertanyaan, adanya permohonan dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia di waktu lampau, agar tenaga perawat mendapat gaji 200.000 yen atau sekitar Rp 20,1 juta per bulan, dan 175.000 yen atau sekitar Rp 17,6 juta (kurs Rp 100 per yen) bagi tenaga penopang lansia.
Angka gaji demikian tampaknya mendapat tanggapan dingin dari kalangan rumah sakit, klinik dan rumah jompo Jepang karena adanya campur tangan pemerintah soal gaji. Padahal pemerintah Jepang saja tidak campur tangan soal gaji dan soal penerimaan tenaga kerja Indonesia itu lebih banyak dilakukan oleh sektor swasta, diterima 100 persen oleh pihak klinik swasta, rumah sakit swasta dan rumah jompo swasta di Jepang.
Dengan gaji sedemikian besar, tidak sedikit dapat tentangan dari kalangan medis Jepang khususnya yang sudah tidak bekerja lagi sebagai perawat, “Kalau digaji demikian, siapa pun dan bahkan yang sudah tak kerja sebagai perawat, akan kembali dan mau kerja lagi sebagai perawat. Bagi lembaga medis Jepang mereka pasti akan lebih senang menerima kami, karena memang sebagai perawat dan orang Jepang,” papar seorang mantan perawat Jepang.
Masalah kedua adalah justru soal hukum di Jepang. Ketentuan bagi perawat asing yang ke Jepang, setelah tiga tahun bekerja di Jepang, mereka harus ikut ujian perawat nasional dalam bahasa Jepang, tidak beda dengan ujian perawat orang Jepang sendiri.
Jangankan orang asing, orang Jepang sendiri yang ujian perawat itu diperkirakan sekitar 30% umumnya tidak lulus. Apabila tidak lulus ujian, sesuai ketentuan Kementerian Tenaga Kerja Jepang, harus kembali ke negara masing-masing.
Tidak sedikit yang menyatakan, kemungkinan lulus bagi perawat asing ikut ujian tersebut kecil sekali karena semua dalam bahasa Jepang dan memang ujian sangat sulit bagi perawat Jepang sekalipun.
Apabila 3 tahun lalu pulang ke Indonesia, bagi lembaga medis Jepang akan sangat merugikan, karena mereka harus mengajarkan dari nol lagi tenaga perawat yang baru datang nantinya.
Jadi di sini ada dua masalah, baik masalah gaji maupun masalah peraturan dari pemerintah Jepang sendiri.
Mengapa alasan ikut ujian tersebut dibuat? Ada kemungkinan kuat, untuk meredam kuat suara kelompok perawat Jepang yang tidak bersedia menerima tenaga perawat asing. Tetapi mereka sendiri tak bisa menentang keinginan pemerintah memasukan perawat asing karena kebutuhan tenaga perawat di dalam negeri Jepang memang sangat kurang dengan peningkatan jumlah secara cepat kalangan lansia Jepang.
Guna meredam ketidaksenangan beberapa kalangan perawat Jepang itulah, dan memasok kekurangan tenaga perawat di Jepang, dibuatlah peraturan ujian perawat nasional di tahun ketiga, tidak beda dengan ujian para perawat Jepang lain.
Mungkinkan perawat Indonesia lolos dari lubang jarum itu. Gambatte kudasai, bersemangatlah sampai akhir, mungkin saja bisa lolos, disertai doa kita semua sebagai umat beragama.
Informasi lengkap lihat: http://www.tribunnews.com/topics/tips-bisnis-jepang/
Konsultasi, kritik, saran, ide dan segalanya silakan email ke: info@promosi.jp
*) Penulis adalah CEO Office Promosi Ltd, Tokyo Japan, berdomisili dan berpengalaman bisnis lebih dari 20 tahun di Jepang