TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan tidak berdampak signifikan pada bisnis perbankan. Perbankan mengaku sudah mengantisipasi penurunan tersebut melalui lindung nilai atau hedging.
Rupiah anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai terjadi sejak pertengahan Mei 2013. Puncaknya, Senin (10/6/2013), nilai tukar di pasar spot sempat menyentuh hingga level Rp 10.087 per dollar. Sepanjang bulan lalu, Bank Indonesia (BI) menghabiskan cadangan devisa sebesar 2 miliar dolar AS.
Director Wholesale Banking Bank Permata , Roy A. Arfandy, mengatakan pelemahan nilai tukar tidak berdampak langsung pada perbankan. Dampak langsungnya, dirasakan importir yang tidak melakukan hedging, sebab mereka membutuhkan dollar untuk membayar tagihan impor.
Roy menambahkan, selama ini perbankan sudah mengantisipasi pelemahan nilai tukar dengan melakukan hedging alami atau hanya memberikan kredit valuta asing (valas) pada perusahaan yang pendapatannya dalam dolar.
Selain itu, antisipasi dengan mengerem penyaluran kredit valas dan menumpuk likuiditas valas. "Dampaknya hanya jika debitur melalukan wanprestasi dengan tidak membayar cicilan, maka rasio kredit bermasalah bank akan meningkat," ujarnya, Selasa (11/6/2013).
Perbankan memang sedang gencar melakukan pelambatan dan penumpukan likuiditas valas. Per Maret 2013, penyaluran kredit valas mencapai Rp 435,1 triliun atau tumbuh 13,89% dibandingkan tahun lalu. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 21,71% menjadi Rp 493,83 triliun. Pertumbuhan DPK ini lebih tinggi ketimbang pertumbuhan DPK valas yang biasanya 15% -16%.
Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, menambahkan pelemahan nilai tukar akan berdampak pada psikologi nasabah. Hal ini menyebabkan nasabah yang memiliki dana di bank mulai mencairkan simpanan valas mereka dan merealisasikan keuntungan atau nasabah panik dan menarik dana dari bank karena takut duit mereka nyangkut di bank. (Nina Dwiantika)