Laporan Wartawan Tribunnews.com Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono, diminta tidak menggunakan kondisi perekonomian jelang kejatuhan rezim Soeharto, sebagai 'tameng' untuk melindungi kekeliruannya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Permintaan itu, dilontarkan politisi sekaligus pengamat ekonomi politik Drajad Wibowo, menyusul nilai mata uang rupiah yang kian terpuruk.
"Pada tahun 2008 silam, ketika nilai rupiah terpuruk, tertolong oleh harga komoditas ekspor yang masih tinggi. Khususnya batu bara dan minyak sawit," jelas Drajad Wibowo, Selasa (20/8/2013).
Karenanya, kata dia, Indonesia ketika itu tidak mengalami defisit neraca perdagangan. Selain itu, utang swasta yang jatuh tempo tidak sebesar seperti pada periode kedua kepemimpinan SBY.
"Itu kondisi tahun 2008, tapi situasi saat ini, pemerintah justru cuci tangan dengan mengatakan tidak bisa mengintervensi pasar. Padahal kalau pasar membaik, ada saja pejabat pemerintah yang mengklaim telah berhasil menyelamatkan perekonomian," ketusnya.
Bahkan, sambungnya, Presiden SBY acapkali kali membanggakan keberhasilan menyelamatkan ekonomi dari krisis. Sementara peran krusial dari harga ekspor yang tinggi, malahan tidak dianggap.
"Selasa siang, saya bertemu seorang mantan pejabat ekonomi super tinggi di negara ini. Dia mengatakan, anjloknya pasar ini diakibatkan penyakit ekonomi yang tak mampu disembuhkan selama beberapa tahun terakhir. Kami berdua sepakat, kegagalan sektor produksi menjadi maslaah fundamental dalam perekonomian saat ini," tuturnya.
Namun, Drajad tetap berharap pemerintah segera menyadari kekeliruannya dan segera merumuskan sejumlah kebijakan ekonomi secara konkret yang efektif untuk memperkuat posisi nilai tukar rupiah.
"Nah, pemerintah perlu segera mengeluarkan langkah penanganan sektor produksi ini agar kepercayaan pelaku pasar pulih kembali. Itu harus dilakukan, daripada melakukan 'kosmetik' kebijakan," pungkasnya.