TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kegundahan langsung menyergap hati dan pikiran Ade Sudrajat. Biang masalahnya adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7 persen pada 29 Agustus lalu. Bahkan, dalam dua bulan terakhir, BI sudah menaikkan suku bunga acuan itu sebesar 125 basis poin. “Kenaikan BI rate lebih banyak merugikan pengusaha, karena bunga kredit usaha pasti akan naik,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia itu.
Di satu sisi, sejatinya Ade mendapat berkah dari penguatan dollar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang rupiah dalam sebulan terakhir ini. Namun, sebagai pengusaha yang mengekspor produk tekstilnya ke luar negeri, dia juga membutuhkan pinjaman dari perbankan agar bisa memenuhi permintaan pelanggan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurut Ade, pengusaha sebenarnya memutar uang masyarakat yang ada di bank melalui kredit modal kerja. Nah, kenaikan BI rate terakhir sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 7 persen diperkirakan akan menyebabkan kenaikan suku bunga kredit modal kerja hingga 200 bps atau sekitar 2 persen. “Jika likuiditas bank cukup tinggi, mungkin kenaikan kreditnya cuma 1 persen,” imbuhnya.
Tampaknya, kekhawatiran pelaku usaha seperti Ade tersebut bakal segera menjadi kenyataan. Seiring kenaikan BI rate dan bunga simpanan, perbankan saat ini juga berencana mengerek suku bunga kredit usaha. “Terus terang kami sedang mengkaji untuk menyesuaikan suku bunga, termasuk kredit usaha,” kata Muhammad Ali, Sekretaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Sayangnya, dia belum bisa memastikan besaran kenaikan suku bunga kredit tersebut. “Jika kenaikannya 1 persen sampai 2 persen, menurut kami itu ketinggian. Kami tidak setinggi itu,” tandasnya. Yang jelas, BRI akan mengumumkan kenaikan suku bunga kredit pada bulan ini dan akan diberlakukan mulai awal Oktober mendatang. Sebagai gambaran, lantaran kenaikan BI rate, bank pelat merah ini sudah lebih dulu menaikkan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) sejak bulan lalu.
Berdasarkan jenis penggunaan kredit, BRI lebih banyak menyalurkan kredit usaha dibandingkan dengan kredit konsumsi. Sedangkan porsi kredit usaha kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 75 persen dan sekitar 25 persen untuk korporasi. Dari total kredit UMKM, sekitar 31 persen untuk usaha mikro dan sebanyak 69 persen untuk ritel dan usaha menengah. Sementara, lebih 50 persen dari kredit korporasi BRI disalurkan ke perusahaan milik negara (BUMN).
Langkah mengerek bunga kredit usaha juga tengah ditimang-timang oleh Bank Central Asia (BCA). “Semua kredit termasuk kredit usaha tentu akan kami revisi,” kata Henry Koenaifi, Direktur Konsumer BCA. Namun, dia masih merahasiakan besaran kenaikan bunga kredit tersebut.
Secara umum, kata Henry, kenaikan bunga kredit yang masih bisa diterima oleh debitur dan bagi bank saat ini adalah 2 persen. Bagi debitur, kenaikan 2 persen dari bunga yang dibayarkan saat ini masih bisa dijangkau. Sedangkan bagi bank, kenaikan bunga 2 persen juga dianggap masih cukup aman dari potensi timbulnya kredit macet. “Kalau di atas itu maka nasabah keberatan dan menimbulkan risiko kredit macet yang lebih besar bagi bank,” tandasnya.
Demi meminimalkan potensi kredit macet, BCA menetapkan suku bunga kredit usaha yang berbeda-beda bagi setiap nasabah korporasi. Sebab, setiap perusahaan memiliki risiko bisnis yang berbeda-beda. Sekadar informasi, per 31 Agustus lalu, suku bunga dasar kredit (SBDK) usaha di BCA sekitar 9,25 persen per tahun untuk korporasi, dan 10,60 persen untuk ritel (lihat tabel). Suku bunga ini belum memperhitungkan risiko nasabah pemohon kredit.
Hati-hati mengerek bunga kredit
Tak cuma bank besar, bank kelas menengah-kecil juga bakal segera menaikkan suku bunga kredit usaha. “Pekan depan kami menaikkan bunga,” kata Direktur Utama Bank Windu Kentjana, Luianto Sudarmana.
Meski begitu, mereka cenderung hati-hati dalam mengerek bunga kredit karena menghindari potensi kredit macet dan persaingan dengan bank lain dalam meraih debitur. Alhasil, Bank Windu Kentjana cuma berniat menaikkan bunga kredit rata-rata 0,5 persen dari sekitar 8,5 persen menjadi 9 persen–10 persen. Kenaikan bunga tersebut menyasar seluruh sektor, yakni manufaktur, UKM, serta konsumer.
Sementara, Bank Mutiara tidak mau buru-buru mengerek bunga kredit modal kerja. Maklum, sebagai respon atas kenaikan BI rate sebesar 50 basis poin pada Juli lalu, bank ini sudah menaikkan bunga kredit konsumsi dan modal kerja pada awal September ini bersamaan dengan kenaikan bunga deposito. Kenaikannya berkisar 25–50 basis poin.
Toh, Executive Vice President Bank Mutiara Candra Utama tetap membuka opsi menaikkan bunga kredit minimal 1 persen setelah suku bunga acuan BI mencapai 7 persen. “Kami akan menaikkan bertahap dan melihat kondisi nasabah,” katanya.
Sedangkan Benny Purnomo, Direktur Jaringan dan Distribusi Bank Mutiara, menyatakan, kenaikan bunga kredit usaha hanya berlaku bagi nasabah baru. Sedangkan untuk nasabah lama diterapkan kebijakan per nasabah. “Kami lihat performa nasabah, mulai prospek usaha hingga kemampuan keuangannya,” kata Benny.
Adapun Bank Mega belum berniat menaikkan kredit korporasi. Suku bunga kredit korporasi masih di kisaran 11 persen–12 persen per tahun. “Kami tidak bisa sembarangan menaikkan bunga sektor ini karena persaingan sangat ketat dan bank lain juga pasti mikir-mikir,” kata Kostaman Thayib, Presiden Direktur Bank Mega.
Begitu pula dengan bunga kredit modal kerja yang hanya sebagian mengalami kenaikan. “Bunga pinjaman modal kerja pada nasabah-nasabah kecil naik, karena risiko mereka meningkat,” katanya.
Meski begitu, Kostaman memperkirakan kenaikan suku bunga kredit usaha untuk segmen menengah-kecil tidak akan lebih dari 1 persen. Saat ini suku bunga kredit usaha Bank Mega berkisar 11 persen–14 persen per tahun. “Beberapa bank sudah menaikkan bunga di segmen ritel ini,” ungkapnya.