News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Slamet Wuryadi, Dapat Gelar S1 dan S2 dari Beternak Puyuh

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Tulisan Wartawan Tribun Jabar, Tarsisius Sutomonaio

"SAYA ingin jadi profesor puyuh," ujar pemilik CV Slamet Quail Farm sekaligus Ketua Asosiasi Puyuh Indonesia, Slamet Wuryadi, saat mengikuti Pesta Patok (pesta peternak) di Gasibu, Bandung, Rabu (25/9/2013).

Menurut dia, sangat membanggakan menjadi orang pertama di Indonesia yang meraih gelar profesor soal puyuh. Ia mengaku jalan mencapai cita-cita itu terbuka lantaran ada tawaran dari sebuah universitas di Belanda dengan dibiayai pemerintah Belanda. Namun, ia mengaku sedang mempertimbangkan tawaran itu. "Kalau ke Belanda, berarti saya harus meninggalkan usaha ternak puyuh," ujar dia. Karena itu, Slamet berencana mengajukan diri ke Institut Pertanian Bogor (IPB).

Wajar bila Slamet tak mau berjauhan dengan ternak puyuhnya. Pria itu meraih gelar S1 dan S2 di IPB dari hasil beternak puyuh. "Saya hanya bermodal baju empat, celana empat, serta uang Rp 175 ribu," ujar pria yang memulai usaha ternak puyuh pada 1992 itu.

Slamet menyatakan, sejak beternak puyuh 21 tahun lalu, ia tak pernah menjual puyuh dan telur puyuh di bawah modal. "Itu berarti, saya untung terus," katanya. Ia menyatakan ada empat alasan beternak puyuh selalu meraih untung dan menjadi peluang usaha yang menggiurkan.

Pertama, penawaran dan permintaan tak seimbang. Puyuh yang tersedia di Indonesia baru memenuhi 15 persen kebutuhan nasional sehingga harga relatif terjaga. Kedua, meskipun stok dalam negeri kurang, tak ada impor. "Korporasi belum masuk (ke peternakan puyuh)," ujarnya.

Slamet mengaku pernah menolak tawaran kerja sama dengan pengusaha Malaysia. "Tiap penjual cash and carry. Tak ada sistem utang," katanya. Itu adalah keuntungan ketiga beternak puyuh sehingga bisa segera menambah modal usaha.

Faktor keempat adalah empat keuntungan puyuh, yakni jual puyuh hidup, daging puyuh, telur, dan kotoran. Selain beternak puyuh, Slamet juga memproduksi makanan olahan dari daging serta telur puyuh, seperti bakso dan telur puyuh asin.

Sebungkus berisi 20 butir telur puyuh asin dibanderol dengan harga Rp 15.000. Kotoran puyuh diolah menjadi pupuk organik bagi tanaman tomat dan stroberi. Selain itu, dia mengaku sedang mengkaji pengolahan kotoran puyuh menjadi biogas. "Dari hulu sampai hilir dan pascapanen terurus. Sehari ada delapan ton kotoran puyuh," ujar dia.

Sejauh ini, Slamet bukan hanya peternak, melainkan juga pengajar tentang puyuh keliling tanah air, bahkan luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Pada Oktober nanti, ia terbang ke Korea Selatan untuk mengajar mengenai puyuh. Penerbangan ke Kenya, Afrika, pun menantinya setelah itu. Di tanah air, Slamet mempromosikan puyuh melalui tiga buku yang ia tulis. "Saya harus mempromosikan puyuh karena itu ternak lokal Indonesia," katanya.

Beternak puyuh, ucapnya, bisa balik modal sebelum tujuh bulan sejak memulai usaha. Misalnya, seorang memulai dengan modal Rp 15,3 juta untuk beternak 1.000 ekor puyuh di atas lahan 2x10 meter termasuk lima kandang, dan pakan puyuh petelur selama sebulan.

Dengan asumsi produktivitas 75-80 persen, peternak itu bisa mendapat untung bersih Rp 99.000 per hari atau sekitar hampir Rp 3 juta per bulan. Penyakit yang menyerang puyuh, lanjut dia, relatif mudah ditangani seperti tetelo dan pilek. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini