TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian RI di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli mengatakan putusan KTT APEC hanya bersifat imbauan. Putusan itu baru mengikat bila antarnegara melakukan hubungan bilateral dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan kerja sama ekonomi.
"Perjanjian bilateral justru lebih efektif meningkatkan investasi ketimbang kesepakatan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Karena kesepakatan APEC tidak mengikat (non binding), jadi tidak efektif. Ini kan sama saja dengan multilateral,” kata Pendiri Econit, Dr Rizal Ramli di Jakarta, Selasa (8/10/2013).
Menurut Capres versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), pertemuan APEC itu hanya sekedar merespon perkembangan ekonomi dunia. “Anggaran APEC yang mencapai Rp 180 miliar itu, manfaatnya sangat kecil untuk Indonesia, karena cuma menjadi ajang promosi saja dan memperkenalkan Bali,” katanya.
Rizal Ramli juga mempertanyakan apakah pertemuan KTT APEC menyelesaikan tiga masalah besar bangsa ini, yakni masalah pangan, energi, dan lapangan kerja.
“Pangan kita lebih banyak impor dibanding ekspor, energi kita tidak mengembangkan alternatif bio diesel, tapi impor minyak mentah. Maka batalkan proyek jembatan Selat Sunda karena resiko finansial, tanah, wilayah, dan proyeknya sangat mahal,” katanya.
Menurutnya, dalam 10 tahun kepemimpinan nasional 2004-2014, SBY gagal dalam membangun kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia, karena memang tidak mempunyai visi besar untuk pangan.
“Beda dengan Malaysia, Singapura, China, dan Thailand. Gagal karena selama ini tak ada pembangunan irigasi, harga pupuk lebih mahal dibanding harga gabah. Harusnya rasionya 4: 2 atau 4:1, maka petani bisa bernapas,” ujarnya.
Pemerintah juga gagal mengembangkan pembibitan berkualitas, kalah dengan Brasil dan Argentina, dan tak ada kebijakan harga agar kesejahteraan petani itu meningkat.
“Di negara-negara maju pemerintah selalu membuat kebijakan agar petani sejahtera. Kita anggaran perjalanan ke luar negeri jauh lebih besar mencapai Rp 32 triliun, sedangkan pertanian dari Rp 17 triliun menjadi Rp 14,5 triliun,” ungkap Rizal.
Pada dasarnya, lanjut Rizal, soal kedaulatan dan ketahanan pangan itu masalah prioritas dan kepedulian penyelenggara negara ini memang tidak berpihak pada pertanian dan petani. Hal itu tercermin dalam APBN, di mana anggaran untuk pertanian terus dipotong, dan malah lebih besar anggaran kunjungan ke luar negeri.
“Jadi, pemerintah ini memang tidak peduli pada kedaulatan dan ketahanan pangan,” ujarnya.
Rizal mengatakan ke depan kalau KTT APEC itu bisa menyelesaikan tiga masalah besar bangsa tersebut, maka itu berarti bermanfaat untuk Indonesia.
“Sebaliknya, jika negara ini gagal membangun kedaulatan dan ketahanan pangannya, itu bukti bahwa KTT APEC tak ada manfaatnya untuk bangsa ini,” katanya.