TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - REI (Real Estat Indonesia) menjelaskan izin dan kepemilikan tanah adalah masalah utama pengusaha properti. Dari 3000 perusahaan pengembang anggota REI seluruh Indonesia, mayoritas masih mengeluhkan beberapa persoalan menyangkut perizinan pertanahan, dan perpajakan.
Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso menjelaskan pengusaha perumahan masih dibebani biaya tinggi bagi pembangunan perumahan permukiman. Selain itu pengembang rumah juga kesulitan melakukan pembebasan tanah untuk perumahan sederhana tapak, karena biayanya yang mahal.
"Kami meminta khusus untuk perumahan bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) harus dibebaskannya biaya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan percepatan waktu proses perizinannya," ujar Setyo, Senin (25/11/2013).
Selain itu Setyo menjelaskan beban biaya perijinan dan sertifikat tanah, masih sulit didapatkan. Pasalnya para pengusaha masih merasa beban biaya tinggi tanpa adanya kejelasan biaya dan waktu penyelesaiannya.
"Kami meminta BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk menindak aparat-aparatnya yang tidak mendukung proses penerbitan sertifikat, khususnya untuk rumah bagi MBR," kata Setyo.
Setyo juga memina peningkatan tranparansi pelayanan BPN dalam proses pengukuran dan pembuatan serta pemecahan sertifikat, dan kejelasan waktu dalam prosesnya.
Setyo menambahkan peraturan perpajakan yang fleksibel dan dinamis, agar nilai bebas PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) bisa mudah didapatkan dengan biaya rendah, terutama pemilik rumah susun.
"PPN dan BPHTB rumah susun milik harus disesuaikan dengan ketentuan harga jual yang diputuskan oleh Menteri Perumahan Rakyat," kata Setyo.
Setyo juga meminta pemerintah untuk memberi insentif pajak bagi pengembang yang membangun perumahan permukiman berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
"Tujuannya agar ikut meningkatkan gairah iklim industri real estat," ujar Setyo.