TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Berbagai cara digunakan pengembang (developer) untuk menarik minat investor membeli properti yang dibangun. Selain program diskon dan berbagai hadiah langsung, investor juga diberi penawaran cashback (uang kembali) atau buyback (jaminan dibeli kembali).
Novy Kamardhani (48), warga Bandung yang bekerja di bidang jasa asuransi, mengatakan, beberapa waktu lalu ia mendapat tawaran cashback dan atau buyback. Saat itu ia ditawari untuk membeli unit di suatu apartemen.
"Saya ditawari sebuah program investasi dengan janji 'uang ibu dikembalikan 100 persen 10 tahun kemudian' dan diberi asuransi," kata Novy kepada Tribun, belum lama ini. Namun ia tidak mengambil kesempatan itu karena belum tertarik membeli apartemen. Namun Novy mengaku tertarik membeli rumah atau ruko (rumah toko) dengan tawaran cashback dan buyback tersebut.
Novy mengaku lebih senang berinvestasi di bidang properti karena memang jauh lebih menguntungkan dibanding investasi lain. Ia mengatakan, beberapa investasinya, seperti rumah yang pernah dibelinya di Palem Permai, harga awalnya Rp 375 juta, tapi rumah tersebut kini ditawar hingga Rp 1 miliar.
"Terus, juga seperti rumah di Cipamokolan, saya beli Rp 1 miliar, eh, ternyata dalam beberapa bulan saja sudah ditawar Rp 2,5 milar. Bisnis properti tidak riskan, ya. Kalau di bidang yang lain, misalnya emas, lagi naik ya naik, tapi ada turunnya juga. Di properti, naik saja terus. Nggak pernah turun sih, seperti yang saya lihat dari dulu sampai sekarang," ujar ibu tiga anak itu.
Mengenai harga properti yang naik terus, Novy punya pandangan khusus yang menurutnya cukup mencengangkan. "Kalau saya lihat, Indonesia tuh lucu. Saat kita semuanya lagi susah, tetap saja pesta besar ada di mana-mana. Sekarang, kalau bicara soal properti, harganya semakin melambung tapi tetap saja laku," katanya.
Endrian Wardana, investor di bidang properti, mengatakan, promosi cashback atau buyback guarantee memang mulai marak saat ini. Namun menurutnya, selain promosi itu, harga pembelian properti sangat ditentukan negosiasi personal.
"Tulisan yang tertera di brosur masih bisa digoyang. Harga bisa didapat dengan negosiasi personal dengan developer. Developer memiliki data base soal investor sehingga memberi kesempatan pertama bagi investor prioritas untuk negosiasi harga itu," katanya saat dihubungi Tribun, Minggu (8/12/2013) kemarin.
Endrian mengaku belum mengenal sepenuhnya sistem buyback guarantee. "Setelah membeli, investor tidak berurusan dengan developer, tapi dengan pengelola. Mereka (pengelola) yang mencari pembeli dengan persentase tertentu (sewa untuk mendapatkan pembeli)," katanya.
Sejauh ini, ia menganggap bisnis properti yang paling menguntungkan adalah bisnis apartemen karena mengeluarkan dana terbatas, tapi mendatangkan keuntangan yang banyak. Selain itu, bisnis ini mempunyai banyak pilihan baik disewakan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian maupun untuk dijual lagi.
Keuntungan terutama diperoleh dari nilai aset. "Kalau produk bagus, tak usah pakai promosi, orang pun pasti beli. Harga properti harus naik di atas inflasi. Selama ini, kenaikan harga minimal 25 persen," ujar Endrian.
Ia mengaku pernah membeli apartemen seharga Rp 140 juta. Satu setengah tahun kemudian, ia menjual apartemen itu dengan harga Rp 350 juta. Selanjutnya, uang hasil penjualan apartemen itu dipakai untuk membayar uang muka pembelian dua unit apartemen baru.
Endrian membandingkan dengan bisnis ruko yang kembali modalnya cukup lama. Misalnya, pembelian sebuah ruko dengan harga Rp 850 juta, lalu hanya bisa disewakan Rp 40-65 juta per tahun. Namun, tak mudah pula untuk menjualnya.
Apartemen dianggap lebih menguntungkan daripada bisnis rumah lantaran berfasilitas lengkap seperti kolam renang, sekolah, dan toko. "Secara umum, bisnis properti nyaris tanpa risiko. Permintaan tak pernah turun," katanya.
Modal pembelian didapat dari pinjaman di bank dengan masa cicilan yang terlama dan bunga paling rendah. Menurut dia, semua investor memakai dana dari orang lain, termasuk dari lembaga perbankan. (tom/bb)