TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gagasan pemberian pelonggaran atau relaksasi ekspor mineral mentah kepada para korporasi tambang skala besar, khususnya pada PT Freeport Indonesia (FI) dan Newmont Nusa Tenggara, menunjukkan pemerintah tidak punya posisi tawar yang kokoh di hadapan korporasi asing.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi Indonesia atau Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman keputusan pemerintah merevisi dua peraturan terkait penambangan mineral dan batubara dalam negeri.
Dua peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Mineral.
"Pemerintah mesti tegas terhadap pelarangan ekspor bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK), hingga mereka selesai membangun pabrik pemurnian dalam negeri," kata Usman dalam siaran pers.
Kewajiban pemegang kontrak karya untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri harus dipenuhi lima tahun sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Erwin menyebutkan, operasi produksi perusahaan pemegang KK sudah berpuluh tahun di Indonesia. Keuntungan mereka pun sudah sangat banyak. Ia menilai waktu lima tahun sudah cukup bagi para pemegang KK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Sayangnya, kata Erwin, pemerintah Indonesia justru lemah menghadapi korporasi.
"Pengawasan pemerintah yang lemah dan terlalu kompromistis menjadikan waktu terbuang percuma," kata Erwin.
Selama lima tahun ini, kata Erwin, tidak ada satu pun pemegang KK tersebut yang selesai sepenuhnya membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Padahal, dalam Pasal 170 UU Minerba telah diatur dengan jelas tentang kewajiban tersebut.
Terhadap pemegang izin usaha pertambangan (IUP/IUPK), Erwin mengusulkan agar pemerintah memberi kebijaksaan untuk tetap ekspor dengan batas waktu tiga tahun sambil mereka tetap menyelesaikan proses pembangunan smelter.
Alasannya, poin awal (starting point) IUP/IUPK berbeda dari pemegang kontrak karya milik asing. Pemegang KK sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Namun, pada kenyataannya pemegang IUP baru tumbuh pada periode 3-7 tahun terakhir.
"Ini juga untuk mendukung majunya dunia usaha pertambangan nasional," ujarnya.
Menurut dia, pemberian waktu untuk tetap ekspor selama tiga tahun mesti didukung dengan pengawasan dan tersedianya norma hukum yang ketat dan mengikat dari pemerintah. Sanksi tegas hingga pencabutan kontrak dan IUP mesti diterapkan bagi pemegang IUP yang tidak bersedia membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri setelah waktu tiga tahun atau tahun 2017.
Pemerintah mesti segera menyiapkan cetak biru dan peta jalan sebagai petunjuk teknis bagi pelaksanaan program hilirisasi serta membenahi soal koordinasi lintas kementerian yang lemah.
"Adalah suatu tanda tanya besar jika pemerintah justru memberikan kelonggaran khusus pada perusahaan pemegang KK dan melarang total ekspor bagi penambang nasional," kata Erwin.