News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Elpiji Naik

AMM Minta Pemerintah Konsisten Soal Kebijakan Elpiji

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ali Masykur Musa

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Silang sengkarut kenaikan harga LPG (elpiji) tabung 12 kg telah menjadi kado pahit bagi masyarakat menyongsong tahun baru 2014.

Mendasarkan pada audit BPK yang menemukan kerugian bisnis LPG non-PSO Pertamina periode 2011 hingga Oktober 2012, BUMN migas ini menetapkan kenaikan harga LPG 12 kg sebesar 68 persen secara serentak di seluruh Indonesia, terhitung mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00 WIB dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp 3.959 per kg.

Aksi korporasi Pertamina ini menimbulkan reaksi negatif masyarakat. Para menteri yang sebelumnya memberikan sinyal positif terhadap kenaikan elpiji nonsubsidi kemudian saling ‘buang badan.’ Para politisi melalui fraksi-fraksi di DPR juga berlomba-lomba menyalahkan Pertamina, termasuk partai penguasa.

Pemerintah kemudian menganulir aksi korporasi Pertamina dan memutuskan kenaikan LPG nonsubsidi hanya Rp 1.000/kg, berlaku mulai Selasa (7/1/2013) pukul 00.00 WIB. Silang sengkarut ini terjadi karena inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk peraturan yang dibuatnya sendiri.

Demikian disampaikan Ali Masykur Musa (AMM), Ketua Umum PP ISNU, dalam Diskusi Panel Ahli PP ISNU bertema LPG Naik, Salah Siapa? di kantor PBNU, Selasa (14/1/2014). Diskusi menghadirkan narasumber Ali Mundakir (VP Corporate Communication Pertamina), Said Didu (Mantan Sekretaris Menteri BUMN), dan Darmawan Prasodjo (Pengamat Energi).
Ali Masykur, yang juga anggota BPK ini, menyebutkan beberapa isyarat inkonsistensi pemerintah.

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi pada uji materi UU Migas No 22/2001 tahun 2004 telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) tentang liberalisasi harga BBM/BBG. Namun, peraturan turunan yang dibuat terus mereproduksi konsep liberalisasi harga BBM/BBG. Salah satunya adalah Permen ESDM No 26/2009 tentang Penyedian dan Pendistribusian LPG. Pasal 25 Permen tersebut memberikan kewenangan kepada Badan Usaha untuk menetapkan harga LPG non-PSO sesuai harga patokan LPG.

Karena aturan ini yang diikuti, Pertamina menggunakan CP Aramco, harga patokan yang berlaku di pasar Asia Pasifik. CP Aramco adalah harga perolehan Pertamina saat mengimpor atau membeli bahan baku LPG dari produsen dalam negeri. Dengan harga patokan ini, selisih biaya pengadaan yang kian tinggi dengan harga jual yang konstan sejak 2009 menjadi kerugian yang harus ditanggung perusahaan sejak 2008 hingga 2013, dengan total kerugian selama 5 tahun mencapai Rp 21,8 triliun.

Kedua, melalui UU Migas No 22/2001, Pertamina telah dirombak menjadi BUMN berbentuk perseroan dan tunduk kepada UU No 1/1995 tantang Perseroan Terbatas dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa orientasi kegiatan dari perseroan adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Ketiga, pemerintah mencanangkan pengarusutamaan penggunaan gas dengan asumsi Indonesia defisit lifting minyak dan surplus produksi gas. Tetapi road map pemerintah tidak jelas sehingga tidak ada proyeksi tentang kesinambungan penyediaan bahan bakunya dalam jangka panjang. Akibatnya, meskipun negeri ini surplus produksi gas, tetapi karena 56 persen produksi gas telah terikat ekspor penjualan jangka panjang, Indonesia harus mengimpor semakin banyak bahan baku untuk dikonversi menjadi produk turunan seperti LPG.

Dari sejumlah inkonsistensi pemerintah tersebut, Ali Masykur yang juga peserta konvensi Capres Partai Demokrat ini menyerukan semua pihak untuk kembali kepada konstitusi dan taat asas pada putusan MK yang meletakkan BBM/BBG bukan sebagai komoditas komersial biasa, tetapi komoditas strategis yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

UU Migas yang menjadi tonggak liberalisasi industri migas nasional, menurutnya, harus dirombak total. Harga BBM/BBG harus ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini