TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketika Tumenggung Wiraguna menarik cukai atas rokok yang diproduksi Rara Mendut, itulah pertama kali konsumen dikenai beban pajak dalam sejarah rokok di Indonesia.
Alegori dalam kisah Rara Mendut menggambarkan begitu tepat setiap hisapan rokok konsumen harus membayar cukai. Semakin dekat dengan pangkal batang rokok, cukai yang mesti dibayarkan semakin mahal. Oleh sebab itu, dalam kisah tersebut harga puntung lebih mahal dibandingkan sebatang rokok itu sendiri karena perokok mesti menanggung akumulasi cukai.
Kisah tersebut merupakan sarkasme betapa kekuasaan begitu “rajin” menarik pajak guna menumpuk pundi-pundi kekayaan dari cukai, dan itu sudah terjadi sejak era Mataram yang berlanjut pada era kolonial hingga sekarang. Pandangan ini dikemukakan Budayawan Mohammad Sobary saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Kang Sobary, begitu sapaan akrabnya, mengemukakan, sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, pajak (cukai termasuk di dalamnya), selalu dianggap beban oleh rakyat.
Dikisahkan bahwa pada era Romawi, orang-orang Yahudi melakukan protes atas cukai yang dikenakan kepada mereka. Alasannya tentu saja, sejumlah cukai yang mereka bayarkan hanya untuk memperkaya pejabat Rowani, tidak pernah kembali kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas seperti jalan yang bagus, pasar yang bersih, lembaga pendidikan yang semakin berkualitas, dan lain sebagainya.
Menurutnya, warisan era Rowani, Rara Mendut dan kolonial masih menjadi masalah sampai saat ini. Negara menarik cukai terhadap produk rokok yang tentu saja dibebankan kepada konsumen, tetapi tak pernah memberikan dampat bagi kesejahteraan rakyat sebagai pembayarnya.
"Dengan begitu bisa dikatakan, berhubungan dengan cukai rokok, sikap pemerintah masih seperti pada era Tumenggung Wiraguna. Uang dari hasil memungut cukai tak pernah jelas penggunaannya. Pemerintah begitu girang karena pendapatan cukai rokok sangat besar, namun untuk apa uang tersebut tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik," tegasnya.
Alih-alih melakukan transparasi, pemerintah justru banyak sekali mengeluarkan Undang-Undang yang membatasi peredaran rokok. Tentu sikap pemerintah tersebut ambigu: mau menerima uang cukai, di sisi lain “mencegah” penjualan rokok.
Salah satunya adalah rencana pemerintah untuk ikut menandatangani Framework Convention Tobacco Control (FCTC), sebuah ratifikasi guna membatasi peredaran rokok. Tentu dampaknya tidak hanya berimbas pada industri rokok, tapi yang lebih parah akan berdampak pada petani tembakau.
"Bagi petani tembakau, FCTC seperti malaikat maut yang akan mencabut basis ekonomi mereka yang telah beratus tahun bergantung pada tembakau," tegas mantan direktur utama LKBN Antara ini.
Problem tersebut tentu perlu dicarikan jalan keluar. Persoalannya bukan sebatas orang tidak boleh merokok di gerbong kereta, misalnya, tapi lebih pada penghancuran pada kehidupan para petani yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Ada puluhan juta petani yang telah turun temurun menjadikan tembakau sebagai tumpangan untuk menyambung nafasnya.
"Kalau begitu saja penghidupan mereka dicabut, tentu akan berdampak yang luas secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Padahal faktanya, seperti yang sudah disinggung di atas, pendapatan dari cukai rokok sangat besar," ujarnya.
Karena itu, sudah seharusnya negara berperan dalam pemenuhan kewajibannya membangun relasi dengan konsumen rokok dan pemanfaatan serta pengelolaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Rakyat sebagai pembayar cukai mempunyai hak menikmati atas pajak yang telah mereka bayarkan.
"Fungsi negara adalah sebagai pelayan, bukan menumpuk hasil pembayaran cukai untuk kepentingan segelintir elite kekuasaan," katanya.