TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang saling tumpang tindih, menjadi penghambat serius dari geliat ekonomi nasional. Hal itu terlihat dari lambannya pemerintah dalam menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi payung hukum pelaksanaan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS).
Bahkan, pemerintah pun coba mengarahkan agar pembahasan jalan tol meliputi seluruh jalan tol di Indonesia, dan tidak hanya menunjuk pada satu badan usaha tertentu.
“Terlihat jelas, bahwa kebijakan tumpang tindih pemerintah justru menghambat geliat ekonomi nasional yang diharapkan tercipta,” ujar Pengamat Perencanaan Pembangunan Nasional Syahrial Loetan, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Hal itu, kata Syahrial, terbukti dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam memperjuangkan perencanaan pembangunan yang telah disusun sebelumnya. Padahal sejak awal, pemerintah telah memberikan penugasan kepada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Hutama Karya untuk menggarap proyek tersebut. Apalagi, hingga saat ini kepemilikan Hutama Karya secara penuh di tangan pemerintah.
Lebih jauh, jelas Syahrial, sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga telah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia lebih dulu akan memfokuskan pembangunan infrastruktur di dalam negeri, ketimbang menyetujui pembangunan perhubungan antara Malaysia dengan Pulau Sumatera.
“Artinya, semangat yang Presiden SBY sampaikan jelas bertolak belakang dengan realita di lapangan. Bagaimana keterhubungan antar pulau di Indonesia bisa terwujud, jika payung hukum pelaksanaannya pun tak kunjung terbit. Bahkan terkesan, diperlambat!” ungkap dia.
Kondisi Lapangan
Syahrial mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) disebutkan bahwa pemerintah telah melaksanakan 2 kali proses pelelangan terhadap proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Namun hingga kini, tidak ada satu pun investor yang memberikan penawaran proyek itu.
Di sisi lain, saat ada investor yang berminat untuk melaksanakan proyek tersebut, ternyata pemerintah tak mampu untuk memberikan bantuan dalam pembebasan lahan. Akibatnya, investor tersebut hengkang dan batal untuk melaksanakannya. Dan jika proses tender dilakukan kembali, dipastikan semakin menghambat realisasi pembangunan jalan tol itu.
Jadi, ucap dia, proses penerbitan perpres sebagai payung hukum proyek JTTS itu, semakin jauh dari kenyataan. Padahal, pembahasan pada tingkat pemerintah pusat telah dilakukan sejak pertengahan 2013 lalu. Dan proyek tersebut telah didengung-dengungkan sejak beberapa tahun lalu bakal segera terwujud.
Lebih jauh, lanjut dia, menyitir penjelasan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha yang mendapat tugas khusus. Dan ditambah lagi, bahwa tanah milik masyarakat/yang dikuasai masyarakat/milik pemerintah/dikuasai oleh pemerintah, maka dapat digunakan untuk kepentingan umum.
“Dari penjelasan Undang-Undang itu pun terlihat jelas bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan umum. Seolah-olah berlindung pada argumentasi bahwa aturan main yang ada masih belum jelas, dan tidak melindungi pemerintah. Padahal proyek Jalan Tol Trans Sumatera itu masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicetuskan oleh Presiden SBY. Itu yang saya sebut tadi tumpang tindih,” tegas Syahrial.
Penugasan Hutama Karya
Syahrial melanjutkan, penugasan PT Hutama Karya untuk menggarap proyek jalan tol itu merupakan pilihan tepat. Sebab, Hutama Karya merupakan badan usaha yang mempunyai kompetensi teknis baik sebagai inisiator, investor, kontraktor dan pengembang infrastruktur. Dengan demikian, harapan agar proyek tersebut terbangun sesuai perencanaan dan pengoperasiannya berjalan lancar, sangat memungkinkan.