TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apes betul nasib Nurhayati. Dua bulan berturut-turut, Februari dan Maret 2014, penjual pakaian di sebuah pasar tradisional Depok, Jawa Barat, ini dua kali dagangannya dibayar dengan uang palsu pecahan Rp 100.000.
Padahal, sebelumnya, perempuan 30 tahun ini tak pernah mengalami nasib sial semacam itu.
Nurhayati tak paham, apakah kejadian yang menimpanya tersebut ada hubungannya dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 atau tidak.
Yang jelas, beberapa rekannya sesama pedagang di pasar juga mengalami hal sama, beberapa pekan sebelum pemilu legislatif digelar serentak pada 9 April nanti.
Pesta demokrasi akbar lima tahunan itu memang identik dengan bagi-bagi uang, baik dari partai politik peserta pemilu maupun calon legislatif agar mencoblos mereka di hari pemilihan.
Tapi, bagi-bagi uang ini tidak terang-terangan, makanya disebut serangan fajar.
Apakah ada kaitan antara serangan fajar itu dengan peredaran uang palsu?
Komisaris Besar Agus Irianto, Kasubdit Kejahatan Mata Uang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri, memastikan, belum ada motif dari pembuat dan pengedar uang abal-abal yang lebih dari sekadar ekonomi.
“Motif politik atau subversif belum ada,” tegas perwira menengah ini.
Temuan tersebut berdasarkan hasil interogasi kepolisian terhadap para pelaku pembuatan dan pengedaran uang palsu yang berhasil ditangkap.
“Belum ada pengakuan mengenai pesanan pembuatan uang palsu dari partai politik atau calon legislatif,” tambah Agus.
Senada, Lambok Antonius Siahaan, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), mengungkapkan, tidak ada momen-momen tertentu termasuk pemilu yang punya hubungan dengan peredaran uang palsu yang marak.
Meski begitu, pemalsuan uang memang dipengaruhi oleh sedikit atau banyaknya aktivitas ekonomi atau transaksitransaksi yang memungkinkan pengedaran uang palsu.
Penegasan serupa juga datang dari Irjen Drajat Tirtayasa, Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal).
Dia bilang, sulit membuktikan korelasi antara peningkatan peredaran uang palsu dengan pemilu. Meski begitu, para pelaku kejahatan ini memang selalu memanfaatkan sebuah momentum.
“Momen yang bersifat masif bisa dimanfaatkan, misalnya, kampanye,” ujar Drajat.
Bisa jadi pemilu dan peningkatan peredaran uang palsu tidak ada berkaitan, meskipun menjelang hari pencoblosan tahun 2014 banyak temuan uang palsu di masyarakat.
BI mencatat, sebelum dan saat penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009, jumlah uang palsu yang beredar memang tak selalu menunjukkan ada lonjakan.
Tengok saja, pada 2003 ditemukan 24.656 lembar uang palsu. Sementara di 2004, jumlah temuan meningkat menjadi 42.498 lembar.
Tapi, menjelang Pemilu 2009, temuan uang palsu malah menurun. Jika pada 2008 ditemukan 86.552 lembar uang palsu, di 2009 jumlahnya turun menjadi 79.846 lembar.