News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tenang, Pasar Properti di Indonesia Jauh dari Ancaman Bubble

Editor: Fajar Anjungroso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

APARTEMEN MENJAMUR - Bisnis properti di kota Depok, Jawa Barat kian menggeliat, ditandai dengan tumbuh suburnya apartemen di kawasan Jalan Margonda Raya. Seperti terlihat Selasa (18/3). Tiga apartemen sekaligus tengah dibangun di jantung kota Depok ini. (Warta Kota/adhy kelana/kla)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pasar properti Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan positif dan aman dari ancaman bubble. Dengan kata lain, pertumbuhan pasar properti masih dalam jalurnya dan dapat dikendalikan berkat kebijakan pendinginan yang dilakukan Bank Indonesia pada Juni 2012 dan September 2013 berupa penetapan rasio kredit terhadap nilai aset (loan to value/LTV) dan kenaikan suku bunga.

Pertumbuhan pasar properti Indonesia juga masih dianggap wajar karena disertai kuatnya permintaan sebagai dampak dari pertumbuhan perekonomian yang mendorong bertambahnya jumlah kelas menengah dengan daya beli meningkat.

Pengamat perbankan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Mochammad Doddy Ariefianto, mengutarakan hal tersebut, terkait fenomena anjloknya pasar properti di sejumlah negara Asia seperti China, Hongkong, dan Singapura kepada Kompas.com, Sabtu (19/4/2014).

"Implementasi LTV, kenaikan suku bunga atau kebijakan pendinginan lainnya dalam paket pengetatan moneter secara efektif dapat mengerem laju pertumbuhan properti menuju kondisi wajar dan positif. Sejak 2012 Indonesia sudah mengantisipasi kemungkinan gelembung properti. Jadi, kalaupun terjadi penurunan tidak akan terlalu menukik tajam," papar Doddy.

Penurunan pertumbuhan, tandas Doddy, terjadi sangat halus. Kondisi ini telah berlangsung sebelum terjadi fenomena anjloknya properti di China, Hongkong, dan Singapura. Terlebih, total nilai kredit pemilikan rumah (KPR) hanya separuh dari 28 persen kredit konsumsi terhadap total kredit Rp 3.200 triliun per Januari 2014.

"Jadi, pertumbuhan akan terus berlangsung. Hanya persentasenya tidak setinggi sebelum pengetatan moneter 35 persen. Saat ini dan di masa yang akan datang pertumbuhan hanya mencapai 20 persen," ucap Doddy.

Pertumbuhan tersebut, imbuhnya, didorong oleh insentif penjualan yang menstimulasi pengembang untuk berproduksi. Meski sudah direm, penjualan tetap tinggi. Harga pun terus melejit karena permintaan menguat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini