TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) secara berkala mulai 1 Mei, dikhawatirkan akan menggerus daya saing industri nasional. Dengan kenaikan TTL tersebut, beban energi yang harus ditanggung pelaku industri akan meningkat menjadi 20-30 persen dari total biaya produksi.
"Salah satu dampaknya yaitu produk impor akan membanjiri pasar dalam negeri. Sebab, harga jual produk lokal menjadi tidak kompetitif akibat kenaikan biaya produksi," kata Ade Sudrajat Usman, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rabu (23/4/2014).
Menurut Ade, di tengah kesiapan Indonesia menghadapi implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri nasional. Tapi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru tidak mendukung industri.
Saat ini pelaku industri justru semakin terbebani dengan kenaikan TTL yang dampaknya langsung berpengaruh terhadap daya saing industri nasional.
Padahal, kata Ade, 1.200 perusahaan yang bergerak di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri, pasokan energinya masih sangat tergantung dari listrik PLN.
Menurut Ade, harga produk impor tidak mengalami kenaikan, tetapi harga produk nasional terus meningkat seiring tingginya biaya produksi. Pemerintah ingin menekan defisit neraca perdagangan, namun menaikkan TTL dan mendorong produk impor masuk dalam jumlah yang besar.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan, kenaikan TTL tidak bisa dihindari karena sudah disepakati sebelumnya. “Industri hulu khususnya TPT akan terkena dampak kenaikan TTL,” tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, nilai impor TPT dalam beberapa tahun terakhir terus melonjak. Kenaikan yang cukup besar terjadi pada 2013. Dia mengatakan, saat itu nilainya mencapai 8,47 miliar dolar. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan tahun sebelumnya, 8,14 miliar dolar AS.