News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perkumpulan Prakarsa: Ekonomi Indonesia Tak Perlu Tumbuh Banyak

Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Rendy Sadikin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang karyawan menata tumpukan uang di pooling cash Bank Mandiri, di Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2014). Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada hari ini berakhir terapresiasi di tengah terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan. Nilai tukar Rupiah terhadap USD berdasarkan data Bloomberg hari ini berada pada level Rp 11.525 per USD. Posisi ini terapresiasi 37 poin dibanding penutupan hari sebelumnya di level Rp 11.562 per USD. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Dunia mengeluarkan Kajian Kebijakan Pembangunan. Dalam acara tersebut Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves mengatakan Indonesia harus tumbuh sembilan persen untuk menghindari jebakan kelas menengah.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, kurang menyetujui hal ini. Hal yang menjadi prioritas pada saat ini bukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun memastikan agar pertumbuhan berkualitas.

Dalam hal ini Setyo menilai, bagaimana pertumbuhan mampu menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan. Hingga saat ini Indonesia mengalami ketimpangan terburuk sepanjang sejarah dengan rasio gini 0,41.

Bila Indonesia terus mengejar pertumbuhan lebih tinggi, artinya kekeliruan ini terus dilanjutkan. "Apa artinya ekonomi tumbuh tinggi bila hanya dinikmati sebagian kecil orang?" ujar Setyo, Senin (23/6/2014).

Simulasi Bank Pembangunan Asia menunjukkan ketimpangan adalah perintang yang besar untuk penanggulangan kemiskinan . Dengan kategori kemiskinan 1,25 dollar AS hari maka kemiskinan di Indonesia mencapai 16,3 persen.

Namun, bila ketimpangan tak meningkat, kemiskinan seharusnya hanya 6,1 persen. "Tentu saja ini adalah perbedaan yang sangat besar," ungkap Setyo.

Disamping itu menurut Setyo ketimpangan atau kekayaan yang terkonsentrasi bukan hanya menyinggung rasa keadilan, namun juga menyebabkan ekonomi rentan dan rapuh . Daya beli tinggi, namun hanya dimiliki segelintir orang akan membuat agregat permintaan terbatas.

"Ini berarti pertumbuhan dengan ketimpangan tinggi juga tidak akan berkelanjutan, seperti menyusun rumah kartu yang sewaktu-waktu akan runtuh," papar Setyo.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini