TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Melorotnya industri minyak dan gas bumi (migas) saat ini juga berdampak pada keseriusan konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Maka itu, cara pandang pemerintah yang akan datang harus lebih menekankan pada produksi gas agar bisa menggantikan bahan bakar minyak (BBM).
Mantan Kepala Badan Pengawas Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono bercerita, Indonesia perlu belajar dari negara tetangga seperti Thailand. Sejak 20 tahun lalu, Thailand sudah memiliki ribuan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Langkah Thailand itu dilakukan karena produksi gas mereka yang lebih besar dari produksi minyak bumi.
Sejak 10 tahun lalu, Indonesia sebenarnya telah memproyeksikan datangnya era gas, menggantikan bahan bakar. Sayangnya, meski sudah dipikirkan dan direncanakan sejak sepuluh tahun lalu, rencana besar untuk mengkonversi BBM ke BBG ini tidak pernah bisa berjalan mulus. Padahal, kala itu, Indonesia merupakan negara produsen gas nomor satu di kawasan Asia Pasifik.
Sulitnya mengkonversi ke gas karena infrastruktur yang belum siap. Tapi, Priyono punya pandangan berbeda. Dia bahkan pernah mengusulkan bila sulit membangun infrastruktur pipa transmisi gas, lebih baik mengangkut gas yang sudah diproduksi dengan menggunakan kereta api. Apalagi saat ini rel kereta api sudah memiliki jalur ganda.
Caranya, gas itu diangkut tabung gas polycarbonat yang meski jatuh tabung tersebut tidak akan pecah sehingga tidak membahayakan manusia. Cara ini terbilang mudah lantaran kebutuhan gas nasional baru sebesar 84 juta ton per tahun dari produksi gas nasional yang mencapai sembilan miliar ton per tahun.
Sayang, usulan itu kandas. Priyono, menduga gagalnya konversi BBM ke gas karena ada kepentingan bisnis importir BBM yang sudah mengakar sejak Orde Baru. Bagi pengimpor BBM ini, lebih mudah untuk berbisnis trading BBM. "Maklum keuntungan yang diperoleh dari bisnis impor BBM ini
Rp 40 miliar per hari," ujar dia. Adapun kebutuhan BBM domestik mencapai 1,2 juta barel per hari. Inilah mengapa infrastruktur gas dan kilang minyak sulit dibangun.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Agustiawan membantah adanya mafia impor BBM sehingga pemerintah sulit mengkonversi BBM ke gas. Persoalan konversi BBM ke gas ini selain karena masalah infrastruktur juga terkait dengan alokasi gas domestik. "Alokasi gas domestik juga perlu ditambah," ungkap dia.
Harga gas di hilir compressed natural gas (CNG) juga perlu disesuaikan. Harga CNG seharusnya mencerminkan harga di hulu, ditambah biaya transportasi, biaya kompresi dan margin. Saat ini, kata suami dari Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan ini, harga CNG di SPBG hanya Rp 3.100 per liter setara premium. "Itu tidak ekonomis," katanya. (Agustinus Beo da Costa)
Keuntungan Trader BBM Impor Rp 40 Miliar Sehari
Editor: Hendra Gunawan
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger