TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memprediksi impor pakaian jadi ilegal selama puasa hingga lebaran bisa melonjak secara signifikan. Bahkan kenaikannya mampu menembus angka 100 persen.
Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan impor ilegal melonjak karena tingginya permintaan, apalagi menjelang lebaran.
"Banyak importir yang bermain karena untungnya sangat besar," kata Ade, Senin (30/6/2014).
Menurut Ade, importir ilegal cukup merogoh modal sebesar Rp 150 juta. Dengan modal tersebut importir sudah bisa mendatangkan satu kontainer pakaian ilegal. Dengan modal itu dijual Rp 500 juta hingga Rp 600 juta.
"Apalagi 80 persen orang Indonesia lebih senang beli barang palsu," ujarnya.
Selain impor pakaian jadi ilegal, impor pakaian jadi melalui jalur resmi juga diprediksi mengalami kenaikan 50 persen menjelang lebaran. Lonjakan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan tarif listrik untuk industri. Kenaikan TDL menyebabkan harga jual naik 15 persen.
"Bahkan pedagang pasar Tanah Abang memilih untuk impor, karena produk impor tidak mengalami kenaikan," jelasnya.
Sementara itu, industri tekstil dalam negeri terus mengalami hambatan salah satunya adalah dengan rencana Komite Anti Damping Indonesia (KADI) akan mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk tiga macam benang yang diimpor industri dalam negeri yaitu Spin Drawb Yarn (SDY), Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yard (DTY).
"Kebijakan ini akan merugikan industri dalam negeri, karena masih membutuhkan benang impor sebagai bahan baku produksi," ujarnya.
API, kata dia, mendukung langkah pemerintah untuk memproteksi dalam negeri. Namun, yang harus diproteksi adalah produk hilirnya bukan industri hulunya.
Ade menuturkan, tiga jenis produk tekstil yang diproteksi tersebut termasuk industri hulu, jika diproteksi maka konsekuensinya Indonesia bakal kebanjiran produk impor untuk produk hilir.
"Lagipula, kalau diproteksi maka harganya akan naik."
Menurut Ade, industri hulu harus tetap berkompetisi, namun bukan berarti hulu tidak diproteksi, tapi dengan cara lain.
"Bukan dengan cara yang kurang cerdas. Perlindungan contohnya yaitu harga listrik yang lebih rendah," ujarnya.
"Malaysia yang penduduknya kecil, tapi proses industrialisasinya lancar karena tarif listrik industri justru diturunkan. Tarif industri mereka lebih rendah dari Indonesia. Hal itu bertujuan agar investasi masuk lebih banyak," katanya.
Malaysia melakukan hal itu melawan pesaing barunya yaitu Vietnam. Seperti diketahui, saat ini Vietnam mengandalkan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk kebutuhan mereka.
"Vietnam punya enam pembangkit listrik dari nuklir. Kalau Indonesia tidak berubah, maka suatu saat Vietnam bakal susul Indonesia," katanya.