TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Di saat bank umum menaikkan suku bunga kreditnya, tidak demikian dengan kalangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Salah satu penyebabnya adalah segmen bisnis BPR sama sekali tak terpengaruh tekanan dari krisis ekonomi global.
Raden Soeroso, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Se Indonesia (Perbamida) mengatakan segmen utama bisnis BPR adalah penyaluran kredit di sektor mikro. Sehingga kebanyakan debitur BPR adalah pedagang kecil mulai dari tukang bakso, pengrajin, pedagang pasar tradisional dan lain-lain yang berorientasi pasar lokal.
"Ini yang membedakan dengan kebanyakan bank umum, dimana mereka banyak bermain di kredit korporasi dengan debitur berorientasi ekspor impor. Sudah tentu mereka terpengaruh krisis ekonomi global serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar," kata Raden saat dihubungi KONTAN, Selasa, (8/9/2014).
Namun tidak demikian dengan BPR yang memilih untuk tidak terburu-buru menaikkan suku bunga kredit. Sebab hal ini bisa mempengaruhi kemampuan bayar angsuran debitur kecil BPR.
Raden menegaskan kalangan BPR tidak mau rasio kredit bermasalah kita atau non performing loan (NPL) semakin meningkat. "Jadi kami memilih lebih meningkatkan kehati-hatian dibanding meningkatkan bunga kredit. Toh kenaikan biaya dana di BPR tak sebesar di kalangan Bank Umum. LDR kami juga lebih terjaga," pungkas Raden.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2014, total kredit yang dikucurkan BPR mencapai Rp 63,50 triliun. Tumbuh 18,02% dibanding April 2013 (YoY). Sementara Loan Deposit Ratio (LDR) BPR masih terjaga di level 84,25%, hanya naik sedikit dibanding April 2013 sebesar 82,51%.