TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengakui bahwa ada banyak praktik politisasi dalam pemilihan jajaran Direksi di sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Seperti yang diungkapkan oleh Nazwar Nazir Datuk Paduko Rajo Imbang, Direktur Eksekutif Asbanda. Menurutnya bahkan, politisasi juga terhadap pengelolaan BPD sehari-hari. “Banyak BPD di daerah mengalami politisasi terhadap pengelolaan BPD,” kata Nazwar kepada KONTAN, Selasa (8/7/2014) lalu.
Bentuk intervensi umumnya dilakukan oleh kepala daerah seperti Gubernur ataupun Wakil Gubernur yang notabene perwakilan partai politik. Seringkali orang yang diajukan menjadi Komisaris adalah orang dekat sang Kepala Daerah.
Begitu pula orang yang disodorkan menjadi kandiat Direksi, seringkali diisi oleh orang yang “dititipkan” untuk melaksanakan kepentingan si Kepala Daerah.
“Mengingat masa jabatan kepala daerah bersangkutan terbatas 5 tahun, maka kebijakan si kepala daerah untuk mengembangkan BPD tersebut tidak didasari kepentingan jangka panjang dan komprehensif. Jadi kepentingan jangka pendek 5 tahunan, lebih mendominasi pengambilan keputusan penting terkait pengembangan BPD bersangkutan,” pungkas Nazwar.
Sayangnya Nazwar enggan mengungkapkan jumlah kasus yang diketahui Asbanda. Begitu pula daerah mana saja peristiwa politisasi terhadap BPD terjadi.
Eko B. Supriyanto, Direktur dan Pengamat Perbankan The Finance mengatakan banyak kandidat Direksi BPD tak diloloskan oleh OJK dalam fit and proper test. Penyebabnya dikarenakan direksi tersebut dianggap kepanjangan tangan Pemegang Saham Pengendali (BPD) yang prosesnya sudah dimainkan di Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN).
Bahkan, tidak jarang terjadi kesepakatan tertentu antara pemegang saham dengan calon direksi.