TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan kasasi terkait kasus bioremediasi atas terdakwa Ricksy Prematuri, direktur rekanan PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) ternyata tidak muncul dengan suara bulat.
Dari tiga hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengadili perkara ini, satu orang hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dan membebaskan Ricksy dari semua tuntutan.
Putusan kasasi bernomor 2330K/PID.Sus/2013 ini diketok oleh Artidjo Alkostar sebagai ketua majelis, dengan anggota majelis yakni Leopold Luhut Hutagalung serta MS Lumme.
Dari dokumen putusan kasasi, Hakim Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H. (anggota II) berbeda pendapat dan dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti sebagaimana dakwaan Jaksa. Terdakwa, menurut Leopold, tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan serta tidak terbukti terjadinya kerugian negara.
Selain konstruksi hukum yang dibangun jaksa dinilai aneh, Hakim Agung Leopold pun menyatakan bahwa dakwaan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang tidak terbukti.
Pertama, terkait penggunaan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak sesuai. “Apabila dalam pelaksanaan kontrak Terdakwa melakukan pelanggaran atas UU Lingkungan Hidup, maka seharusnya ia dituntut berdasarkan UU itu sebagai UU khusus dan bukan berdasarkan UU Tipikor,” tulis Leopold dalam pertimbangannya.
Kedua, terkait dakwaan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, Leopold menegaskan hal itu tidak terbukti. Pasalnya, uang 3,089,287.26 dolar AS untuk biaya melaksanakan kegiatan bioremediasi sesuai dengan kontrak yang disetujui. Uang tersebut juga milik PT CPI yang murni perusahaan swasta.
“Uang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai keuangan negara berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001. Maka unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak terbukti,” tulisnya.
Ketiga, tentang dakwaan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, Leopold, menyatakan uang yang keluar setelah kontrak dibuat antara PT CPI dan PT. GPI adalah uang PT CPI bukan dari BP Migas (SKK Migas).
“Selain itu Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan ada niat dari Terdakwa dan yang mewakili PT CPI untuk tujuan pembobolan tersebut,” tuturnya lagi dalam dokumen tersebut.
Bahwa adanya kemungkinan pengeluaran uang dari PT CPI akan mengurangi bagian BP Migas dalam pembagian bagi hasil sesuai kontrak BP Migas dan PT CPI, itu baru merupakan kemungkinan. “Karena BP Migas dapat saja tidak menyetujui pengeluaran itu. Dan mengajukan keberatan sesuai dengan cara-cara yang telah diatur dalam perjanjian kontrak bagi hasil diantara mereka,” terangnya.