TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Kejaksaan Agung tidak serta merta mengeksekusi agar PT Indosat Mega Media (IM2) membayar uang pengganti Rp 1,3 triliun.
Sebab, hingga saat ini masih muncul dua putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang bertentangan dalam perkara penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz antara PT Indosat Tbk dan IM2 tersebut.
Wakil Ketua DPR RI sekaligus Anggota komisi III Bidang Hukum DPR RI, Fahri Hamzah, meminta agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. Kejaksaan harus menghormati keputusan kasasi Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2.
Dalam putusan PTUN di tingkat pertama dan banding, PTUN memutuskan hasil perhitungan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun dalam perkara IM2, adalah tidak sah. Dengan penolakan kasasi BPKP oleh MA atas putusan PTUN, maka perhitungan kerugian negara di kasus IM2 versi BPKP tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum.
“Saya tidak tahu kenapa Kejaksaan ngotot untuk menyita aset IM2 – Indosat, padahal kan dari putusan PTUN soal penghitungan BPKP sudah dibatalkan, jadi dasar hukum penyitaan itu apa?,” ujar Fahri, kepada wartawan, Kamis (13/11).
Menurut Fahri, Kejaksaan harus menghormati putusan PTUN perihal tidak ada kerugian negara di kasus IM2. Hal itu sesuai dengan Pasal 72 ayat 1 dan pasal 81 ayat 2 UU tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh pengadilan. Apabilla ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka badan dan/atau pejabat pemerintahan akan dikenakan sanksi administratif.
Hal tersebut juga tertuang dalam Surat Edaran. Nomor 07 tahun 2014 tentang Pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk ditembuskan kepada Jaksa agung.
Fahri menambahkan, selama ini Kejaksaan memang sering membuat masalah yang sebenarnya tidak ada masalah. “Itu sangat disesalkan karena merugikan orang orang yang tidak bersalah, kasus IM2 juga begitu,” katanya. Oleh karena itu, Indar Atmanto harus dibebaskan mengingat kerjasama Indosat dan IM2 juga dilakukan oleh ratusan penyelenggara jasa internat (ISP) lain. Bila tidak, maka ratusan ISP yang melakukan pola kerjasama yang sama akan mengalami nasib yang sama.
Menurut Fahri, kasus IM2 ini cukup rumit karena bukan murni sebuah kasus. Apalagi saat ini Kejaksaan tengah mencari posisi Jaksa Agung. “Jangan sampai kasus IM2 menjadi jalan untuk menduduki posisi JA yang baru di internal,” tuturnya.
Secara terpisah, Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Meutya Hafidz juga meminta agar Kejaksaan Agung menunggu kejelasan hukum atas dua putusan kasasi yang berbeda dari Mahkamah Agung. “Kejaksaan Agung sebaiknya bersabar. Ini demi kepastian hukum, dan demi iklim investasi khususnya di bidang telekomunikasi yang kondusif,” ujar Meutya, kepada wartawan, Kamis (13/11).
Menurut Meutya, semestinya seluruh stakeholders memahami komitmen bersama untuk membangun industri telekomunikasi yang lebih cepat/progressif ke depan, untuk pemerataan informasi dan komunikasi sesuai pasal 28F UUD 1945. “Artinya, kita memerlukan industri ini untuk terus berkembang, jangan sampai keputusan yang tergesa-gesa membuat pelaku industri telekomunikasi resah, khawatir dan lari dari Indonesia. Harus ada kepastian hukum,” tuturnya.
Karenanya, dia meminta agar kejaksaan menghentikan segala upaya hukum yang mengkriminalisasi industri dan semestinya memberi kepastian hukum. Kriminalisasi hanya akan memperburuk Iklim investasi dan membunuh industri.