TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penguatan dolar AS cukup membebani kinerja rupiah di awal sesi Asia. Hal ini terjadi seiring kontrasnya outlook kebijakan moneter AS dengan negara maju lainnya.
Demikian diungkapkan Analis PT Monex Investindo Futures, Zulfirman Basir, Jakarta, Selasa (20/1/2014). "Federal Reserve telah sinyalkan niat untuk mulai naikan suku bunga tahun ini," ucapnya, Selasa (20/1/2015).
Pekan lalu, kata Zulfirman, bank sentral Swiss telah memberlakukan suku bunga negatif minus 0,75 persen dan kebijakan ini juga diikuti oleh bank sentral Denmark yang kemarin menurunkan suku bunga depositonya menjadi 0,2 persen.
"Pasar juga berharap ECB akan meluncurkan kebijakan QE ketika mengakhiri pertemuan pada 22 Januari mendatang," ujar Zulfirman.
Meski demikian, serangkaian data Tiongkok yang dirilis pagi ini mungkin dapat meredakan kekhawatiran terhadap ancaman perlambatan ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia.
Menurutnya, GDP tahunan Tiongkok tumbuh 7,3 persen pada kuartal IV 2014, lebih tinggi dari estimasi 7,2 persen. Namun sama dengan publikasi sebelumnya 7,3 persen pada kuartal III 2014. Sementara itu, produksi industri Tiongkok meningkat 7,9 persen untuk Desember atau lebih baik dari prediksi kenaikan 7,4 persen dan publikasi sebelumnya yang meningkat 7,2 persen
Dari sisi domestik, lajut Zulfirman, keputusan pemerintah Indonesia yang kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi serta menurunkan harga elpiji 12 Kg dan semen dapat meredakan kecemasan atas ancaman perlambatan ekonomi Indonesia.
Namun, Zulfirman melihat, keputusan penurunan harga BBM juga akan memperlambat upaya perbaikan defisit current account Indonesia yang selama ini menjadi batu sandungan bagi rupiah.
"Sentimen pelemahan rupiah masih terjaga dimana rupiah mungkin akan diperdagangkan di kisaran Rp 12.620 hingga Rp 12.670 untuk hari ini," tuturnya.