TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi, menegaskan penghapusan premium dan mengalihkannya ke pertamax tidak boleh dipaksakan dalam waktu singkat, karena pemerintah harus membangun kilang-kilang minyak baru.
“Pemerintah jangan terburu-buru menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium karena banyak kilang Pertamina masih memproduksinya,” kata Kurtubi, kemarin.
Menurut dia, kalau tujuan pemerintah untuk memberantas mafia migas, pasti dapat dukungan dari semua pihak termasuk DPR. Memang mestinya ke depan BBM kita ke arah yang lebih bagus, berkualitas dan ramah lingkungan. Tapi, penghapusan premium tidak boleh dipaksakan dalam waktu singkat. "Tidak bisa ujug-ujug diubah ke pertamax. Butuh waktu agar kita tidak terjebak lagi dalam mafia pertamax."
Dikatakannya, kalau dalam waktu beberapa bulan, pemerintah harus impor besar, dan hal itu bisa dimainkan pengusaha di Singapura, sehingga Pertamina harus bisa mengubah produksi premium ke pertamax.
"Di samping itu, kita dorong pemerintah membangun kilang minyak agar bisa swasembada BBM. Paling cepat dibutuhkan waktu emapat tahun untuk merealisasikan penghapusan premium tersebut," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy and Strategic Resources (Cesri), Prima Mulyasari Agustini mengatakan, tren pengalihan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium ke pertamax harus disikapi oleh pemerintah dengan cara mengurangi impor premium. Pasalnya, pengalihan konsumsi itu menandakan bahwa ada keinginan masyarakat untuk mendapatkan BBM yang lebih berkualitas.
“Mengurangi impor premium merupakan pilihan yang rasional untuk dipikirkan oleh pemerintah. Dengan mengurangi impor premium, berarti pemerintah mengarahkan masyarakat untuk mengonsumsi bahan bakar yang lebih berkualitas serta ikut mendidik masyarakat untuk kurang mengonsumsi BBM yang merusak lingkungan," ujar Prima.
Kendatipun itu pilihan yang tepat, Prima berpendapat, tidak berarti kebijakan strategis lainnya tidak diambil. Beberapa upaya yang bisa dilakukan setelah impor premium dibatasi ialah membangun kilang baru. Pembangunan kilang menopang meningkatnya konsumsi pertamax di dalam negeri.
Soalnya, lanjut dia, jika mengandalkan penguatan kapasitas kilang lama, hal tersebut sulit terwujud. Karena, meskipun dinaikkan kapasitasnya, kilang-kilang tersebut telah tua dan sulit memproduksi bahan bakar dengan kualitas yang lebih baik dari RON 88.
“Mengurangi impor premium merupakan kebijakan untuk mempercepat program pemerintah dalam membangun kilang baru. Jika kilang baru terbangun, maka untuk konsumsi di dalam negeri selanjutnya tidak mesti disuplai oleh BBM dari luar, tetapi dari dalam negeri sendiri. Atau kita tinggal membeli minyak mentah dari luar dan mengolahnya di dalam negeri dengan menggunakan kilang sendiri,” ungkapnya.
Pengamat energi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi tidak menyelesaikan masalah dari hulu ke hilir tapi sebatas di hilir saja. Padahal tim itu harus menyelesaikan dengan cara sistemik dan menyeluruh.
"Di tengah mereka tak mampu membedah secara menyeluruh, mereka mengambil jalan pintas yakni opsi penghapusan RON 88 dan memberlakukan RON 92 dengan subsidi tetap," kata Noorsy.
Dia menilai hasil rekomendasi tim reformasi, menyisakan lima permasalahan. Pertama, tim tak pernah mengkaji secara sistemik dan struktural. Kedua, tak pernah membukukan permasalahan minyak dan gas bumi.
Kemudian, lanjut Noorsy, struktur biaya hulu ke hilir harus jelas seperti biaya minyak mentah, penyimpanan, distribusi, pajak dan ke tingkat eceran harus diketahui oleh publik tapi dalam praktiknya tidak ada. Keempat, tim reformasi tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi. Bahkan tim kelola manipulasi kata-kata energi menjadi harga ekonomis.