TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA – Relaksasi ekspor kepada perusahaan mineral tambang merupakan sikap inkonsistensi yang bertentangan dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Sebetulnya menurut Pengamat Pertambangan Simon Sembiring Selasa (24/3/2015) awal penerapan larangan ekspor telah diberlakukan sejak 12 Januari 2014, bahkan pemerintah sangat bersikukuh menjelaskan kepada negara tujuan ekspor tentang perubahan kebijakan tersebut.
Dengan alasan, Indonesia akan membangun industri pertambangan demi meningkatkan nilai tambah dan dampak ekonomi dalam negeri, pemerintah meminta agar negara-negara tersebut mengalihkan investasinya dengan membangun smelter di Indonesia.
Bahkan kata Simon pemerintah Indonesia juga membela dengan tegas kebijakan larangan ekspor itu di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi dari para pihak yang menggugat.
Keputusan MK justru mengukuhkan kebijakan pemerintah dengan menegaskan bahwa larangan ekspor mineral mentah merupakan wewenang pemerintah selaku penguasa sumber daya alam demi mewujudkan amanah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
“Kalau pemerintah mau membuka kembali keran ekspor kepada semua perusahaan tambang mineral, bagaimana bangsa kita akan dinilai karena tidak konsisten dan membingungkan dari sisi kebijakan,” kata Simon Sembiring
Simon mengatakan, pemerintah sebenarnya telah melanggar UU Minerba karena memberikan relaksasi ekspor kepada perusahaan tertentu. Dalam UU Minerba sudah dengan tegas mengatakan bahwa untuk perusahaan pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi dalam lima tahun wajib melakukan pemurnian. Tetapi, pemerintah malah memberikan kelonggaran dengan memberikan kesempatan ekspor dalam bentuk konsentrat.
Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Hasanuddin Prof Abrar Saleng mengatakan, hilirisasi merupakan cita-cita mulia yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara industri pertambangan.
Sumber daya pertambangan yang tidak dapat diperbarui bakal habis. Jika tidak dilakukan pengolahan maka kekayaan sumber daya alam ini pun tidak akan berbekas dan kurang memberi manfaat yang maksimal sesuai pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Diutarakan Abrar , harus diakui kemajuan dari pelaksanaan kebijakan hilirisasi terbilang kurang selama setahun belakangan. Kalangan pengusaha masih terus menunggu dan ragu jangan sampai ada perubahan kebijakan dari pemerintah. Karena itu, pemerintah harus tegas mengatakan bahwa hilirisasi menjadi harga mati dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak.
“Salah satu ketegasan pemerintah bisa dinyatakan lewat konsistensi penerapan kebijakan larangan ekspor. Jika UU Minerba mengamanatkan agar tidak ada ekspor mineral maka itu harus diterapkan. Membuka keran ekspor mineral sama dengan melawan amanat rakyat, tidak populis, dan hanya untuk kepentingan sesaat semata,” katanya.
Sementara menurut Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi, hilirisasi memberikan manfaat yang besar bagi negara. Indonesia selama ini mengirim bahan baku ke luar negeri dan menyumbang kemajuan industri di negara lain.
Undang-undang memberi waktu lima tahun sejak 2009 untuk membangun smelter tetapi sampai sekarang hampir belum ada smelter baru yang beroperasi.
Pemerintah harus mendorong agar pengusaha tambang segera membangun smelter. Pemerintah juga harus tetap konsisten melarang ekspor mineral mentah karena sangat menentukan keberhasilan kebijakan hilirisasi.
“Seharusnya pemerintah memaksa perusahaan tambang untuk membangun smelter di lokasi tambangnya seperti di Papua dan Sumbawa. Perusahaan tambang mendapatkan banyak kemudahan, lebih efisien, dan memberikan nilai tambah yang besar bagi masyarakat di lokasi tambang,” katanya