TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyatakan pihaknya siap untuk dilibatkan dalam proses pemberian fasilitas pengampunan pajak (tax amnesty) apabila Pemerintah membuat aturannya dan substansinya berkeadilan.
Penegasan sikap itu disampaikan Anggota BPK RI, Achsanul Qosasih, Jumat (24/4/2015).
Menurut Achsanul, soal tax amnesty itu adalah kewenangan Pemerintah dan DPR.
Sementara kalau BPK dilibatkan, hanya bisa memberikan masukan dan pendapat terutama dalam hal penetapan sasaran sesuai dengan hasil Pemeriksaan.
"Sepanjang penerapan tax amnesty itu memilki keadilan maka BPK pasti akan mendukung," tegas Achsanul.
Untuk diketahui, rencana kebijakan tax amnesty muncul dalam pertemuan diantara Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan RI, beberapa waktu lalu.
Salah satu kesimpulan pertemuan itu adalah persetujuan untuk melaksanakan kebijakan tax amnesty.
Kalangan Komisi XI DPR RI sendiri secara terbuka menyatakan dukungannya atas rencana itu. Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Fadel Muhammad menyatakan bahwa kebijakan tax amnesty akan berpotensi menarik dana yang selama ini diparkir di luar negeri. Negara sendiri akan mendapatkan bagian yang langsung bisa masuk ke kas negara lewat pajak.
Dukungan juga datang dari Ketua Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR dari Fraksi PAN, Jon Erizal, yang menilai kebijakan tax amnesty adalah salah satu jawaban atas kurangnya pendanaan untuk membangun infrastruktur dan perekonomian.
Sekretaris Panja Penerimaan Negara, M.Misbakhun, menyatakan pihaknya meyakini pemerintah bisa memasukkan rancangan aturan tax amnesty ke dalam Prolegnas 2015.
Kalangan pengusaha juga mendukung kebijakan itu. Dewan Pertimbangan Apindo, Sofjan Wanandi, dan Ketua HIPMI Bahlil Lahadila menyatakan kebijakan itu akan banyak bermanfaat bagi pemasukan pajak negara.
Yang utama, kebijakan akan mendorong uang yang lari ke luar saat Krisis 1997-1998 kembali ke dalam negeri.
Namun ditekankan juga oleh semua pihak agar ada kepastian hukum dan jaminan pemberian fasilitas itu tak dipermasalahkan di masa mendatang.
Disebutkan syarat itu mewajibkan aturan harus bisa mengkoordinasikan pemberian fasilitas melibatkan clearance dari Kepolisian RI, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, dan BPK RI.