News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Protes ke WTO Harus Diimbangi dengan Perbaikan Regulasi Tembakau Nasional

Penulis: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Pekerja mengiris dan mengemas tembakau siap pakai di pabrik tembakau iris Padud Jaya di Lingkungan Jelat, Kelurahan Pataruman, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat, Selasa (27/8/2013). Tembakau yang berasal dari Lombok, Madura, Sumedang, Garut dan tempat lainnya tersebut dikemas di pabrik ini mulai dari kemasan 25 gram hingga 100 gram dengan harga jual mulai Rp 1.500 - Rp 10.000 per bungkus. Pabrik yang dikelola sudah tiga generasi sejak 1960-an itu memasarkan produknya ke sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa dengan rata-rata produksi 50 ton per bulan. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia kini tengah bersengketa di World Trade Organization (WTO) atau Badan Perdagangan Dunia, karena menggugat kemasan polos rokok(plain packaging) yang diterapkan Australia.

Indonesia menilai, kebijakan itu melanggar perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), atau perlindungan atas hak merek/paten.

Namun, sikap pemerintah yang membela industri rokok di panggung internasional itu justru menjadi ironi, ketika industri hasil tembakau (IHT) nasional terus digerogoti aneka aturan yang memberatkan industri.

Salamudin Daeng, pengamat ekonomi politik, menilai gugatan terhadap Australia memiliki pesan, pemerintah berkepentingan terhadap perdagangan tembakau di luar negeri. Namun, “Semangat pembelaan itu justru tidak tampak di dalam negeri,” kritik Daeng, Senin (22/6/2015).

Fakta menunjukkan, IHT terus diganggu. Belum lagi penerapan cukai yang tinggi plus pajak-pajak lain yang memberatkan. Dengan berbagai belenggu aturan itu, Daeng pesimistis, IHT mampu bersaing di perdagangan internasional.

"Gugatan ke Australia melalui WTO ini bisa kehilangan faedahnya kalau kemudian berbagai kebijakan di dalam negeri justru tidak memberi dukungan terhadap industri tembakau," tuturnya.

Seharusnya, pemerintah bersikap konsisten dengan menunjukkan pembelaan yang sama untuk IHT di dalam negeri. Bentuk pembelaan pemerintah itu bisa ditunjukan, misalnya, dengan memperbaiki regulasi yang cenderung “memusuhi” IHT, memperbaiki struktur industri agar bisa bersaing di pasar internasional, subsidi untuk petani tembakau agar harga bisa bersaing dengan tembakau impor asal Tiongkok.

“Bahkan kalau perlu asuransi pertanian untuk melindungi petani dari gagal panen atau bencana,” imbuhnya.

Bahkan, di level kebijakan perdagangan dan keuangan, perlu diterapkan lagi bea masuk untuk melindungi produk tembakau dalam negeri. Juga tidak kalah penting, suku bunga industri ditekan. Jika tidak, maka industri dalam negeri bisa mati.

"Kalau kemudian biaya tenaga kerja 25 persen, kemudian biaya gabungan pajak cukai mencapai 25 persen maka maka industri tidak efisien. Ujungnya, pemerintah juga yang rugi karena harus menanggung beban pengangguran akibat rontoknya IHT,” ujar Daeng, panjang lebar.

Tanpa ada komitmen dan perbaikan regulasi seperti itu, maka langkah pemerintah menggugat Australia di WTO, hanya menjadi sandiwara agar pemerintah dianggap melindungi IHT. Lagi pula, ongkos bayar pengacara untuk gugatan ini juga hanya menghabiskan pajak yang sudah dibayar oleh rakyat. "Gugatan itu harus ada signifikasinya bagi industri dalam negeri," ucap Daeng.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini