Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO -- Japan Bank for International Cooperation (JBIC) harus bertanggungjawab atas pendanaan PLTU Batubara Batang Jawa Tengah karena masih banyak warga Batang yang memprotes tak mau menjual tanahnya tetapi mendapat paksaan dari banyak pihak agar menjualnya.
"Tadi kami bertemu dengan pihak kementerian keuangan dan dengan J-Power dan Itochu," ungkap Arif Fiyanto, eksekutif Green Peace Indonesia yang ikut mendampingi tiga warga Batang menemui berbagai pihak di Jepang, menyampaikan khusus kepada Tribunnews.com malam ini (31/7/2015).
Di Kementerian keuangan warga Batang bertemu dengan dua orang perwakilan. Fokus utama pembicaraan terkait JBIC di mana harus bertanggungjawab atas pendanaan proyek PLTU Batang tersebut, tambahnya.
"Kementerian Keuangan berjanji akan menindaklanjuti laporan warga pada JBIC, dan jika JBIC terbukti melanggar guidelines investasi nya maka kementerian keuangan akan meminta JBIC mempertimbangkan ulang rencana mereka untuk mendanai PLTU Batang," tekannya lebih lanjut.
Pembangkit listrik tenaga batubara Batang dibangun pada tanah seluas 226,4 hektar yang nantinya akan menghasilkan listrik sebesar 1000 MW x 2 unit. Jalur transmisi menggunakan 61,4 hektar termasuk pembangunan gardu, peralatan dan sebagainya pada tanah seluas 25 hektar.
Menggunakan 16 kilometer daerah laut lepas pantai.Pengelola PT Bhimasena Power Indonesia yang dibangun patungan antara Jepang dan Indonesia. Pihak Jepang yaitu J-Power dengan saham 34 persen dan Itochu Corporation dengan saham 32 persen. Lalu PT Adaro Power dengan saham 34 persen. Pendanaan diperoleh dari JBIC.
Keluhan pengusaha Jepang tersebut mengenai pembebasan tanah ini pernah disampaikan kepada Presiden Jokowi (24 Maret 2015) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat kunjungan ke Tokyo 13 Maret 2015 lalu.