TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analisis Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Dani Setiawan memaparkan bahwa dari data Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia mencapai 302,292 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 4.200 triliun (kurs Rp 13.888/dolar AS) per akhir April 2015.
Kompisisi tersebut, kata Dani, lebih didominasi oleh utang swasta yang mencapai 56 persen atau 168,740 miliar dolar AS atau Rp 2.344,6 triliun, kemudian disusul oleh utang Pemerintah dan BI sebesar 133,552 dolar AS atau Rp 1.855,7 triliun.
"Utang swasta pada periode 4 tahun terakhir melampaui utang pemerintah. Utang swasta didominasi utang jangka pendek (tenor 1-3 tahun) sementara penggunaannya secara umum untuk proyek jangka panjang sehingga selain menanggung risiko nilai tukar (currency mismatch) juga ada risiko jangka waktu (maturity mismatch)," kata Dani dalam diskusi di Kedai Kopi, Jakarta, Minggu (23/8/2015).
Karena itu, kata Dani, pemerintah harusnya berhati-hati. Pasalnya, ketatnya likuiditas dalam negeri ditambah perkiraan kenaikan suku bunga global bisa-bisa akan mengakibatkan bebab utang semakin berat, karena otomatis meningkatkan imbal hasil (yeld) surat utang yang diterbitkan pemerintah (SBN).
"Apalagi kepemilikan asing yang terus meningkat yaitu mencapai 39 persen. Kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah ini membuat Indonesia rentan terhadap gejolak ekonomi global. Dampak terburuknya adalah utang akan menekan APBN, menguras debisa, serta mengancam rupiah dan ekonomi nasional," kata Dani.
Sehingga, berdasarkan data tadi, kata Dani, jelas tidak masuk akal bila pemerintah masih berambisi memacu proyek mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt, pengadaan pembelian 30 pesawat jenis Airbus untuk maskapai Garuda Indonesia dan membuat Kereta Cepat atau Trans Jakarta-Bandung, saat ini dengan biaya utang. Seperti yang dikritik Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli baru-baru ini. Kecuali kalau ada kepentingan pribadi atau kelompok yang ingin disukseskan.
"Karena proyek ini belum bisa memenuhi kepentingan Indonesia. Bahkan terkesan ada modus, apalagi proyek besar ini akan banyak dibiayai oleh utang luar negeri. Sangat disayangkan bila masuk dalam negeri menjadi proyek yang justru tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat," imbuh Ketua Koalisi Anti Utang tersebut.