TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyulitkan langkah perusahaan yang hanya berorientasi pasar dalam negeri, sementara bahan bakunya dipenuhi dari luar negeri.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, rupiah sudah menyentuh Rp 14.000 per dolar AS dan ini tentunya memberatkan industri tekstil yang membeli bahan bakunya memakai dolar AS.
Namun, selama pemasaran dari perusahaan tekstil tersebut ekspor, maka berapapun kursnya tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagi perusahaan yang pasarnya hanya lokal pastinya ini menjadi masalah besar karena penjualannya akan menurun yang diakibatkan daya beli masyarakat lemah dan lebih mengutamakan kebutuhan primer dibanding sekunder seperti tekstil.
"Kalau orientasinya pasar dalam negeri, pilihannya sangat sempit. Tutup atau terus kurangi jam kerja," ucap Ade saat dihubungi Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Menurutnya, impor bahan baku untuk perusahaan tekstil sebesar 80 persen, seperti serat kapas yang tidak bisa tumbuh secara ekonomis di negara tropis.
"Bahan baku garmen tetap harus diimpor karena ditunjuk oleh buyer luar negeri. Sedangkan untuk serat sintetik bisa tercukupi saat ini dari dalam negeri," ucap Ade.
Ade mencatat, jumlah perusahaan tekstil yang pasarnya berorientasi ekspor sekarang mencapai 22.000 perusahaan dengan melibatkan 1,8 juta tenaga kerja. Namun, pasar ekspor juga tidak semata-mata menguntungkan pengusaha tersebut walau mendapatkan pendapatannya berbentuk dolar AS.
"Sama sekali tidak ada keuntungan tambahan karena bahan baku dan aksesori semua impor, begitu juga listrik tarifnya sudah dikaitkan dengan kurs dolar AS. Kami berharap ada stimulus dwelling time sama dengan Malaysia dan Thailand," tutur Ade.