TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah selalu menjadikan cukai sebagai sumber penerimaan yang paling pasti. Saat penerimaan lain gagal mencapai target, cukai selalu berhasil memenuhi target penerimaan.
Saat ini cukai hasil tembakau menyumbang 95 persen penerimaan cukai dan sekitar 9,5 persen penerimaan pajak negara. Setiap tahunnya pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau demi mengejar penerimaan negara.
Seiring dengan terus meningkatnya penerimaan cukai hasil tembakau untuk pemerintah dari tahun ke tahun, jumlah pabrikan rokok serta jumlah tenaga kerja yang berkaitan dengan rantai suplai industri tembakau terus menurun secara drastis.
Hingga 2014 jumlah pabrikan rokok hanya tersisa 995, hal ini juga berdampak dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), kenaikan tarif cukai secara drastis sebesar 23 persen pada RAPBN 2016 menjadi Rp 148,9 triliun, menambah kekhawatiran industri rokok.
"Saat ini sudah banyak industri rokok yang gulung tikar," katanya saat dihubungi wartawan, Rabu (26/8/2015).
Dengan kenaikan cukai yang besar target cukai justru terancam tidak akan tercapai karena menurunnya volume. Menurut Yustinus, ini merupakan kontraproduktif.
Kenaikan tarif harus dibarengi pertumbuhan volume, sebab produksi saat ini bukan untuk memenuhi demand. Apabila pemerintah bersikeras untuk menaikkan target cukai secara eksesif, maka pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan target tersebut tidak dapat dicapai oleh pelaku industri tembakau.
Selain itu, bila cukai rokok dinaikkan, harga rokok akan tinggi. Padahal konsumsi rokok tidak bisa ditekan, "Mereka akan mencari rokok yang lebih murah. Disinilah akan marak rokok ilegal," tuturnya.
Yustinus juga meminta, pemerintah harus sensitif mencari kreativitas fiskal. "Dengan cara memperluas objek cukai. Misalnya untuk industri semen dan karet yang juga padat energi dan cenderung tak baik untuk lingkungan. Industri itu cukainya harus dinaikan," tuturnya.