TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proyek Kereta cepat Jakarta-Bandung bukanlah sesuatu yang dibutuhkan Indonesia saat ini, menurut ekonom senior Emil Salim. Pasalnya proyek itu membuat pemerintah harus lebih banyak lagi mengirimkan tabungan dollar Amerika Serikat (AS) ke luar negeri.
Padahal saat ini pertumbuhan ekonomi AS meningkat pesat, yang menyebabkan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain, termasuk Indonesia terus menguat. Saat ini saja, rupiah sudah anjlok di atas Rp 14 ribu per dollar AS.
Untuk membangun kereta cepat Bandung-Jakarta sejauh sekitar 150 kilometer itu, dibutuhkan uang lebih dari Rp 60 triliun. Menurut Emil Salim setengah dari anggaran itu akan dibayarkan dalam bentuk dollar AS.
"Betul tidak menggunakan dana pemerintah, tapi tetap ada dolar outflow (keluar), dollar ini kan harus untuk beli mesin itu, dollar tetap keluar," kata Emil kepada wartawan di kantor Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, Jakarta Pusat, Selasa (1/9/2015).
Dengan keluarnya dollar AS untuk proyek tersebut, dikhawatirkan nilai tukar rupiah akan terus turun. Seharusnya pemerintah justru mengambil kebijakan agar dollar AS masuk, sehingga rupiah tidak terus melemah.
"Gimana kita berusaha supaya dolar masuk. Kok kita bikin proyek dollar keluar. Jadi, apa tepat sekarang ini," ujarnya.
Indonesia saat ini masih memiliki sejumlah alternatif selain kereta cepat. Emil menyebut untuk menghubungkan kedua kota itu masih ada jalan tol Cipularang, dan jalur kereta api.
Dibandingkan merogoh kocek untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung, menurutnya pemerintah lebih baik mendukung pembangunan infrastruktur kereta di Sumatera yang masih minim.
Selain kereta cepat itu, proyek lain yang berpotensi memaksa pemerintah mengeluarkan dollar AS menurut Emil juga harus dievaluasi.