TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah menggenjot kenaikan cukai rokok lebih 20 persen tahun depan, menunjukkan pemerintah tak peduli dengan industri nasional. Padahal industri terbukti tahan krisis dan mampu menyerap tenaga dalam jumlah besar.
Pemerintah memang lagi ngotot menerapkan kenaikan cukai pada 2016 mencapai Rp 148,9 triliun. Kenaikan cukai setinggi itu tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016. Target tersebut dinilai memberatkan karena peningkatannya mencapai 23,6 persen dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun.
Sejumlah kalangan meminta agar pemerintah tidak serampangan apalagi kondisi ekonomi tengah sulit. Pengamat ekonomi sekaligus Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier tegas menolak kenaikan cukai. Ia mengaku heran, urusan cukai, pemerintah selalu saja bergantung pada cukai tembakau. Sektor lain dibiarkan.
"Yang mencapai target selalu cukai rokok, industri yang memiliki sifat kepribumian. Tapi ini pun mulai diganggu. Sebaiknya pemerintah tidak usah menaikkan cukai tembakau. Ingat, yang bikin tidak sehat tidak cuma rokok tapi juga polusi-polusi di jalan," tegas Fuad, dalam sebuah diskusi, Rabu (2/9/2015).
Ia curiga, kenaikan cukai titipan pihak tertentu. Bicara ekonomi secara objektif, industri rokok paling banyak lokal kontennya, seperti bahan baku, tenaga kerja, bahkan kontribusi ke penerimaan negara lebih dari 50 persen. Ia minta DPR berani menyuarakan tolak kenaikan cukai rokok ke pemerintah.
"Target pajak dan cukai pemerintah terlalu ambisius. Padahal dalam tiga tahun terakhir kinerja perpajakan di tiap semester I hanya 43 persen. Sekarang saja semester I baru 37 persen," tandasnya.
Imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat,akan langsung dirasakan oleh pabrikan rokok, tenaga kerja, serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar.
"Cukai rokok satu satunya pajak yang tercapai targetnya tahun 2014 dan 2015. Sudah tinggi tapi bisa tercapai, jangan dimusuhi karena banyak juga unsur komponen di dalam negerinya. Jangan terlalu serakah nanti malah matiin, jangan terus diuber uber nanti malah gembos," tandas Fuad.
Ia menambahkan, jika pemerintah terlalu ngotot menaikkan cukai apalagi dengan menerapkan kebijakan yang tidak dikonsultasikan dengan industri dan dipaksakan seperti PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran tahun berjalan, akan kian memberatkan industri.
"Sekarang ini cukai rokok sudah sangat besar pemasukan ke negara juga sudah bagus, jadi jangan dimatikan. Tidak usah cukai naik lagi. Nanti petani tembakau itu bisa ribut, PHK juga bakal lebih banyak jadi pemerintah tidak usah bikin gol bunuh diri,"tegas Fuad.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sekitar 16 persen dalam lima tahun terakhir. Kebijakan itu telah mematikan ribuan perusahaan rokok kecil yang ada di Indonesia.
Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan. Kemudian, pada 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, dengan kenaikan cukai saban tahun, sekarang tinggal 600-an pabrik.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menegaskan, kenaikan cukai tidak pernah dibicarakan dengan kalangan industri. Ismanu mengilustrasikan industri hasil tembakau seperti angsa bertelur emas. Harus terus dipelihara, diamankan agar kondisi bisnisnya tetap kondusif.
Khusus soal cukai, seringkali pemerintah mengabaikan faktor rill di lapangan dengan kebijakan dan target-target tidak realitis sama-sekali. Seringkali, dengan target ambisius, industri jadi korban.
"Pemerintah mestinya realistis. Seringkali pemerintah berargumen bahwa data menentukan kebijakan. Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah, sehingga terkesan industri jadi target buru pemerintah," ujar dia.