TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini, Rabu (23/09/2015), nilai tukar rupiah sempat melewati Rp 14.700 per dolar AS.
Yang terjadi justru sehari setelah pemerintah bersama DPR menetapkan angka nilai tukar rupiah 13.900 per dollar pada indikator asumsi makro ekonomi pada RAPBN 2016.
"Volatilitas nilai rupiah pada hari ini menunjukkan reaksi pasar yang negatif terhadap patokan nilai tukar rupiah sebesar 13.900. Sekaligus, kegagalan Bank Indonesia membangun kepercayaan para pelaku pasar," ujar politisi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun, Rabu (23/9/2015).
Respon pasar yang negatif terhadap Bank Indonesia ini, ujarnya, resikonya harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia karena nilai rupiah sudah "under valued" karena industrinya banyak ditopang oleh bahan baku dari impor.
Tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi, Misbakhun menegaskan, juga akan makin berat pada 2016 nanti.
"Saya selaku anggota Komisi XI DPR RI sejak awal mengingatkan kepada Bank Indonesia untuk lebih rasional, lebih cermat dan lebih realistis dalam menetapkan angka nilai tukar rupiah per dollar Amerika Serikat pada indikator asumsi makro di RAPBN 2016," ungkapnya.
"Supaya angka patokan tersebut bisa diterima pasar dan membangun kepercayaan pasar dan dunia usaha. Ternyata angka patokan rupiah yang dibuat Bank Indonesia sebesar 13.900 direspon negatif oleh pasar sehingga nilai rupiah makin terpuruk," katanya lagi.
Instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sebut Misbakhun, sangat konvensional, feodal, tidak transparan dan dijalankan tanpa menerapkan prinsip governence dengan tata kelola yang baik.
Jadi,sangat wajar apabila Bank Indonesia gagal menjalankan tugas utamanya untuk menjaga stabilitas nilai rupiah.
"Saya tidak akan berhenti mendesak DPR supaya segera berkirim surat kepada Badan Pemeriksa Keuangan supaya segera melakukan audit atas kebijakan moneter Bank Indonesia menjaga nilai tukar rupiah ini. Saya khawatir cadangan devisa habis digunakan hanya untuk melakukan intervensi pasar tapi tidak membuahkan hasil apapun," paparnya.
"Rupiah makin terpuruk. Cadangan devisa negara tergerus. Tapi pendapatan Bank Indonesia dari valas makin bertambah dan bertumpuk. Sebuah ironi yang harus disadari oleh seluruh elemen bangsaā€ˇ," tegas Misbakhun.