TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus bikin ketar-ketir. Meski, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah terus mengeluarkan berbagai jurus untuk menguatkan otot rupiah. Nyatanya, cara itu tak mempan.
Di pasar spot, Jumat (25/9/2015) kemarin, nilai tukar rupiah terpeleset 0,06% ketimbang hari sebelumnya menjadi Rp 14.693 per dollar AS, terendah sejak 1998. Dalam sepekan, nilai rupiah sudah tergerus 2,21%. Kurs tengah BI juga mencatat, kurs rupiah susut 0,45% ke level Rp 14.690, terdepresiasi sebesar 1,56% sepekan.
Kini rupiah melewati Rp 14.500 dan mendekati angka psikologis baru: Rp 15.000 per dollar AS!
Sayang, tak banyak analis yang berani buka-bukaan, memproyeksi bottom rupiah. Tapi, mereka sepakat: tren bearish masih akan bayangi rupiah hingga pekan depan.
Upaya BI mengguyur pasar dengan intervensi nyatanya tak mampu menguatkan otot rupiah.
Berkurangnya cadangan devisa hingga US$ 2 miliar justru memperburuk performa rupiah. Data ekonomi domestik yang akan dirilis diperkirakan juga tidak bisa membantu.
Begitu juga kewajiban menggunakan letter of credit (LC) bagi eksportir sejak April lalu juga tak mampu menguatkan performa rupiah, lantaran ada pengecualian bagi eksportir yang telah memiliki kontrak jangka panjang.
Pun dengan jurus yang mewajibkan pengusaha memakai rupiah untuk transaksi di dalam negeri sejak 1 Juli, tak mempan.
Upaya Otoritas Jasa Keuangan melonggarkan syarat pembukaan rekening bagi warga asing di bank lokal. Strategi ini lagi-lagi mengundang tanya, karena umumnya para turis memiliki waktu kunjungan yang singkat sehingga tidak perlu membuka rekening di bank lokal.
Pekan lalu, pemerintah berencana memberikan insentif kepada eksportir berupa pemotongan tarif pajak atas bunga deposito bagi eksportir yang mau menyimpan devisa hasil ekspornya di bank dalam negeri.
Rumusnya: kian lama dana hasil ekspor mengendap, potongan diskon pajaknya atas bunga deposito kian besar.
Rully Arya Wisnubroto, Analis Pasar Uang PT Bank Mandiri Tbk mengatakan, berbagai kebijakan pemerintah, BI dan OJK baru akan efektif paling cepat tahun 2016. Begitu pula dengan pemotongan tarif pajak atas bunga deposito.
"Jika terealisasi, kebijakan itu efektif paling cepat enam bulan hingga 12 bulan lagi," kata Rully.
Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Treasury PT Bank BNI Tbk menambahkan, pemangkasan pajak deposito eksportir dapat mendongkrak rupiah karena valas masuk ke bank dalam negeri.
"Namun kemungkinan jumlahnya tidak signifikan," kata Trian.
Kala sentimen global tidak mampu dibendung, intervensi BI terhadap pelemahan rupiah juga berisiko menggerus cadangan devisa lebih dalam lagi.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan penggunaan dollar AS di dalam negeri untuk mengimpor sebagian bahan baku.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat minta izin ekspor bagi perusahaan di kawasan berikat harus mudah.
Ade menilai insentif pengurangan tarif pajak atas bunga deposito kurang menarik, kecuali pajak tersebut diturunkan menjadi 0% seperti berlaku di luar negeri.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Adhi S Lukman menilai, insentif yang lebih menarik berupa kemudahan proses restitusi pajak bagi eksportir.
"Itu sangat dibutuhkan bagi eksportir," kata Adhi.
Penulis: Herlina KD, Maggie Quesada Sukiwan, Muhammad Yazid, Namira Daufina