Oleh : Apressyanti Senthaury
TRIBUNNEWS.COM - Senang, gembira dan sudah pasti memicu optimisme baru memperhatikan posisi rupiah (IDR) saat ini. Bagaimana tidak, mata uang negara Indonesia itu berhasil bergerak menguat di kisaran 13.000-an lagi.
Indikasi pergerakan valuta IDR kembali ke koridornya pun nampak semakin nyata di tengah kemelut kondisi eksternal. Terutama terkait meredupnya kepastian kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika, menyusul masih rapuhnya situasi perekonomian Negeri Paman Sam itu.
Level rupiah memang sempat mencapai range tertinggi di akhir September lalu, yakni Rp. 14.963 per dollar AS pada 25 September 2015). Namun, kini laksana teredakan dengan kembalinya sinyal penguatan mata uang garuda. Semangat bangkitnya ekonomi domestik pun bagaikan tersulut kembali di tengah peluncuran paket ekonomi jilid III oleh pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, pernah tercapainya posisi terlemah IDR di tahun 2015 seharusnya tetap menjadi titik kewaspadaan investor. Bahkan, rona situasi mengkhawatirkan serta kecemasan terpuruknya Indonesia ke jurang krisis yang pernah dialami sebelum era tahun 2000 lalu bagaikan melenyapkan keceriaan tahun kambing kayu. Terlebih berlakunya perdagangan bebas dunia memicu bermacam hal yang dapat berpengaruh pada ekonomi dalam negeri. Tidak hanya Amerika Serikat, tapi juga China misalnya.
Beragam pendapat pro kontra pun acapkali mengemuka atas pelemahan rupiah yang sempat mendekati level lemah 15.000-an. Berbagai tundingan pun menyeruak ke permukaan. Satu sama lain saling menyalahkan. Beban pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo pun tak pelak terindikasi ikut kena imbas negatifnya.
Mengamati pergerakan rupiah, ada banyak faktor di dalam negeri yang bakal terpengaruh akibat pelemahan mata uang RI atas dollar AS (USD) yang posisinya sebagai valuta internasional. Satu diantaranya yang paling memprihatinkan adalah terkait masalah impor.
Semakin terdepresiasinya IDR terhadap USD bakal membuat kian beratnya beban pemerintah atas pembiayaan produk-produk impor. Terlebih dengan cukup tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan barang-barang produksi dari luar negeri. Mulai dari buah-buahan, seperti apel, anggur, jeruk dan pir misalnya, hingga ke alat-alat dan permesinan.
Lebih jauh lagi, terus melemahnya rupiah mengindikasikan rendahnya posisi valuta garuda di mata investor. Hal ini bisa memunculkan persepsi negatif, meski lonjakan ekspor yang kuat berpotensi mendongkrak posisi IDR kembali di kancah perdagangan internasional.
Masalahnya, mampukah Indonesia meningkatkan produktivitas ekspornya di tengah kelesuan yang melanda ekonomi global. Belum lagi berbagai pembenahan sektoral yang masih dijalankan oleh pemerintahan yang baru berjalan setahun ini. Sehingga sungguhlah wajar apabila kompleksnya permasalahan eksternal menjadi sandungan yang berarti bagi pimpinan pilihan rakyat itu. Walau, pendeknya rentang waktu pemerintahan baru belumlah bisa menjadi bukti penentu atas rendahnya kinerja pemerintahan yang didukung oleh partai-partai besar Indonesia itu.
Beban persoalan ekonomi global
Kecamuk permasalahan perekonomian dunia belumlah tuntas sepenuhnya pasca dentuman problematika utang negara-negara Eropa. Bahkan mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Benua Biru bakalan terkendala soal sovereign seperti saat ini. Dan ibarat penyakit menular, dampak buruknya mengakibatkan goncangan yang mengganggu pemulihan ekonomi dunia. Sinyalemen berlanjutnya perlambatan ekonomi global pun memunculkan pesimisme investor pada recovery perekonomian negara-negara maju maupun berkembang.
Ketidakmenentuan ketetapan Fed Fund Rate yang semula digadang-gadang mendongkrak dollar AS dan membebani mata uang asing lainnya akhirnya malahan menjatuhkan mata uang yang dijuluki the greenback tersebut. Parahnya, The Big Dollar terkena imbas negatif tekanan persoalan ekonomi Amerika yang sulit. Langkah pasti kemana kebijakan moneter the Fed akan diarahkan pun makin memudar di tengah masih kentalnya aura dovish. Walau, bank sentral pimpinan Janet Yellen masih menjadi panduan bank sentral negara-negara lain di dunia. Hingga sinyal kewaspadaan belum sepenuhnya hilang dari benak pelaku pasar sedunia.
Komitmen Pemerintah RI
Optimisme bangkitnya perekonomian Indonesia kembali mengemuka seiring dengan mulai terapresiasinya rupiah atas dollar AS. Pemerintah RI pun tak mau ketinggalan memanfaatkan momen ini demi tercapainya pemulihan perlambatan ekonomi. Dimana dilakukan melalui pelaksanaan Paket Ekonomi Jilid III, yaitu antara lain terkait pengaturan harga bahan bakar premium dan pemberian insentif atas harga listrik untuk menolong kondisi perindustrian dalam negeri.
Sejalan dengan hal itu, pengawalan ketat Bank Sentral Indonesia terhadap pergerakan rupiah pun diapresiasi positif oleh pasar sehingga memunculkan nuansa kekompakan buat bangkitnya ekonomi dalam negeri. Apalagi penguatan IDR kali ini juga didorong oleh ekspektasi positif atas kesuksesan implementasi kebijakan paket ekonomi Presiden Jokowi.
Depresiasi rupiah tatkala bersanding dengan dollar AS memang patutlah menjadi perhatian. Akan tetapi, tidaklah akan mengubah keadaan jika fokus partisipan hanya tertuju ke sana. Dukungan penuh rakyat agar negeri yang kaya akan sumber daya alam ini bakal melalui masalah internal di dalam negeri, maupun kecamuk persoalan ekonomi global yang menjadi ancaman saat ini dipercaya lebih ampuh. Karena sudah barang tentu semua pihak berpotensi menjadi obyek penderita apabila perekonomian Indonesia terus memburuk.
Tingginya kepercayaan diri didukung oleh dukungan segenap warga negara berpotensi menopang IDR manakala berhadapan dengan mata uang asing lain, USD khususnya. Termasuk komitmen kuat pemerintah RI mengupayakan segala cara penyelamatan ekonomi domestik yang ikut berpeluang menjadi pendukung tambahan buat mata uang IDR.
Dukungan warga negara dengan jumlah penduduk saat ini yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa itu dipercaya mampu menopang tetap bertahannya perekonomian domestik di tengah kondisi rapuhnya ekonomi global. Kecintaan pada negeri khatulistiwa yang tercermin pada penggunaan mata uang rupiah sepatutnya terus dikumandangkan demi mendukung valuta rupiah, khususnya pada kondisi saat ini.
Meski intaian ancaman pelemahan rupiah masih terbuka lebar, tapi dukungan kuat pemerintah beserta segenap rakyat dipercaya bakal mampu memunculkan energi positif tersendiri. Begitu pula halnya dengan Bank Indonesia yang memiliki tugas mulia mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Semua itu adalah demi pencapaian stabilitas ekonomi di dalam negeri.
Untuk itu, pandangan positif, dukungan dan kebanggaan kepada valuta garuda sudah selayaknyalah selalu mengiringi langkah pergerakannya. Semoga harapan baru itu kan mewujudkan dukungan kebangkitan buat rupiah dan Indonesia kelak…
(Apressyanti Senthaury – Pengamat Pasar Valas yang juga pegawai di salah satu Bank BUMN)
*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis