TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontribusi Industri hasil tembakau (IHT) dinilai sangat besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai dibanding dengan sektor lainnya.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Gappri, Hasan Aoni Aziz. Menurutnya, dibanding dengan Industri lainnya, persentase kontribusi penerimaan negara dari IHT yaitu 52,7 persen, jauh di atas industri lainnya. Sementara industri dan BUMN hanya mampu berkontribusi 8,5 persen meski dari sisi nilai industri mencapai Rp 1.890 triliun.
Sementara industri real estate dan konstruksi dengan nilai industri Rp 907 triliun, kontribusi pajaknya Rp 142 triliun dan kontribusi cukai Rp 15,7 triliun.
Adapun industri kesehatan dan farmasi dengan nilai industri mencapai Rp 307 triliun, kontribusi pajak hanya Rp 3 triliun dan cukai hanya 0,3 persen. Sementara industri telekomunikasi dengan nilai industri Rp 114 triliun, kontribusi pajak hanya Rp 3 triliun alias kontribusi pajak hanya 3 persen.
"Sementara industri rokok, industri hasil tembakau, dengan nilai industri Rp 248 triliun, kontribusi pajaknya mencapai Rp 131 triliun, artinya kontribusi pajak mencapai 52,7 persen," kata Hasan Aoni Aziz dalam keterangannya, Kamis (15/10).
Hasan menjelaskan, sebagai perbandingan, dari Rasio Cukai Hasil Tembakau (CHT) di berbagai negara, Indonesia paling tinggi 8,4 persen dibanding negara lain. Australia hanya sebesar 2,3 persen dan Singapura 2,1 persen.
Menurutnya, rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan diyakini tidak akan efektif mendongkrak penerimaan negara.
Ia menjelaskan proyeksi tersebut didasarkan pada kinerja industri rokok pada semester I-2015 yang turun sebesar 1,27 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. "Sekarang ini sampai semester I turunnya bisa dibilang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa dengan kondisi ekonomi yang turun, susah sekali untuk bisa diangkat," tandasnya.
Dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016, target penerimaan negara dari cukai rokok direncanakan sebesar Rp 148,9 triliun atau 95,8 persen dari total target penerimaan cukai yang dipatok Rp 155 triliun. Apabila disetujui DPR, maka target cukai rokok 2016 naik 7,05 persen dibandingkan target tahun ini Rp 139,1 triliun.
Sebelumnya, terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 tahun 2015 yang mengharuskan industri rokok untuk membayar cukai di tahun berjalan. Akibatnya, penerimaan cukai pada tahun ini dihasilkan dari 14 bulan, karena pembayaran cukai rokok pada bulan November dan Desember 2014 dibayar pada bulan Januari dan Februari tahun ini.
Menurut Hasan, dengan target penerimaan cukai sebesar Rp 139,1 triliun tahun ini yang diperoleh dari 14 bulan pemungutan cukai itu, maka per bulannya rata-rata sumbangan cukai rokok ke kas negara mencapai Rp 9,94 triliun. Apabila mengacu rata-rata bulanan setoran cukai rokok, maka seharusnya pencapaian 12 bulan tahun ini hanya Rp 119,2 triliun.
"Dengan kata lain, secara riil, kenaikan cukai rokok bukan 7 persen seperti apa yang dibicarakan namun sebesar 23 persen. Jadi kalau dibandingkan penerimaannya antara tahun sebelumnya, itu tidak sama. Dan kami sangat yakin target itu tak bisa tercapai," katanya.(Hendra Gunawan)