TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kontroversi seputar Peraturan Menteri ESDM No. 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi masih berlanjut.
Ketua Asosiasi Trader Gas Indonesia Sabrun Amperawan mengatakan, Permen tersebut membingungkan karena justru pihak-pihak terkait menyampaikan pernyataan yang saling berbantahan.
“Bahkan kali ini tidak hanya konsumen dan trader gas yang dibingungkan dengan pernyataan-pernyataan pejabat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, tetapi PT Perusahaan Gas Negara Tbk ( PGN ) dan PT Pertamina ( Persero ) juga mengeluarkan pernyataan yang saling berbantahan terkait mahalnya harga gas PGN di wilayah Sumatera Utara,” kata Sabrun, dalam rilisnya kepada media, Jumat (13/11/2015).
Pernyataan Sabrun tersebut berawal dari keluhan industri pemakai gas akan mahalnya harga jual gas PGN yang dianggap oleh PGN sebagai tidak berdasar. PGN mengatakan harga gas di Sumatera Utara mencapai US$ 14/MMBTU dikarenakan harga beli gas yang bersumber dari LNG Donggi Senoro yang diperoleh PGN dari PT Pertagas Niaga memang sudah sangat mahal sebesar US$ 13.8/MMBTU sehingga tidak ada alasan industri menyalahkan PGN atas mahalnya harga gas.
Di sisi lain, Pertamina dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh VP Corporate Communication, Wianda Pusponegoro, meminta kepada PGN untuk jujur kepada masyarakat terkait mahalnya harga gas di Sumatera Utara. Wianda mengakui memang pasokan gas yang berasal dari LNG Donggi Senoro cukup mahal, namun PGN juga memperoleh pasokan gas Pertamina dari lapangan pangkalan susu yang harga nya relatif murah sebesar US$ 8,31/MMBTU sehingga secara rata-rata bisa menjual gas ke industry pada level dibawah US$ 11/MMBTU dan tetap memperoleh keuntungan yang wajar.
Adapun menurut Dirjen Migas, IGN Wiratmadja Puja, mahalnya gas selama ini disebabkan oleh tata niaga gas yang amburadul, banyak trader gas tidak berfasilitas yang memperoleh alokasi sehingga menambah rantai distribusi yang pada gilirannya membuat harga gas semakin mahal. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Permen yang membatasi peluang trader gas tidak berfasilitas untuk mendapatkan alokasi gas.
Menurut Sabrun, Permen yang dikeluarkan oleh Kemterian ESDM melenceng jauh dari substansi niat pemerintah untuk menurunkan harga gas pada tingkat yang wajar dan kompetitif bagi industri.
"Permen tersebut kalau dibaca pasal per pasal tidak mengatur apapun terkait trader gas berfailitas atau tidak berfasilitas, yang ada malah membatasi peluang trader gas yang telah membangun infrastruktur pipa untuk memperoleh alokasi gas,” ungkapnya.
"Ini bisa mematikan trader gas yang sudah berkontribusi membangun infrastruktur dan melayani industri dengan baik pada tingkat harga yang wajar. Bahkan bisa menciptakan monopoli bagi BUMN tertentu dibidang hilir gas,“ lanjutnya.
Terlebih, kata dia, Kepala BPH Migas Andy N Someng dalam pernyataan minggu lalu menyatakan Permen ini harus ditarik kembali dan direvisi. Dia menilai Ditjen Migas lalai dan tidak mengerti soal bisnis gas bumi melalui pipa. berharap Menteri ESDM bijak dalam menyikapi keresahan konsumen dan trader gas yang sudah menjalankan aturan yang selama ini berlaku.
Menurut Sabrun Amperawan berlakunya Permen ini juga dikhawatirkan bisa menciptakan monopoli bagi PGN atau BUMD sebagai penjual tunggal gas. Selama ini mereka memperoleh gas dari swasta dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah daripada harga gas dari PGN.
"Namun kalau trader gas swasta diberangus , akan muncul penjual tunggal yang bisa sesukanya menaikan harga, terutama excess gas yang dipakai industry. Bahkan bisa dua kali lipat harga standarnya, sementara industry pemakai tidak punya pilihan”, terangnya.
"Tentu ini tidak sejalan dengan semangat Undang Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, " tambah Sabrun.
Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan mengingat trader gas swasta saat ini menguasai 23% an pangsa pasar gas, tidak mungkin mereka bisa mengatur harga lebih tinggi dari harga PGN yang menguasai 77% pangsa gas Nasional.