TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) menyampaikan kegelisahannya lantaran produksi solar murni tahun depan telah melebihi kebutuhan domestik. Itu pun dengan penerapan kewajiban penggunaan biodiesel 15 persen.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang menuturkan, pihaknya semakin bingung lantaran pada tahun depan, perseroan harus mengimplementasikan mandatory biodiesel 20 persen.
Ahmad menjelaskan, kelebihan produksi solar disebabkan beberapa faktor. Pertama, peningkatan di kilang Pertamina di beberapa tempat telah selesai. Salah satunya adalah proyek pembangunan kilang residual fluid catalytic cracker (RFCC) di Cilacap.
Kedua, konsumsi solar murni dari pasar domestik juga menurun lantaran perlambatan ekonomi.
Ketiga, naiknya porsi campuran nabati (FAME) dari 15 persen menjadi 20 persen pada tahun depan juga otomatis akan mengurangi permintaan terhadap solar murni.
"Jadi, bingung juga kami. Perkiraan kelebihannya tahun depan 400.000 barrel per bulan," ungkap Ahmad di Jakarta, Jumat (20/11/2015).
Kondisi ini akan dibicarakan dengan pemerintah. Menurut dia, ada dua pilihan yang bisa diambil.
Opsi pertama, solar murni diekspor, atau kedua, solar murni produksi Pertamina dibeli oleh badan usaha lain, seperti PLN.
Akan tetapi, Ahmad mengakui, kandungan sulfur dalam solar murni yang masih tinggi membuat harga solar tidak menarik untuk diekspor, alias terlalu murah.
"Solar yang diekspor Pertamina masih murah karena belum mengikuti low sulfur contain," ucap Ahmad.
Namun, dia berharap kelebihan solar murni produksi Pertamina ini bisa diserap pasar dalam negeri.
Pertamina pun akan mengusulkan kepada pemerintah untuk tidak memberikan izin impor solar kepada badan usaha lain.
"Kalau (produksi) dalam negeri sudah cukup dan lebih, apakah diizinkan untuk impor? Ya usulan kami, kalau ada produksi lebih, ya tidak ada izin impor. Sisa dari Pertamina ya harus dibeli oleh badan usaha yang lain," pungkas Bambang.(Estu Suryowati)