TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utang di era pemerintahan Presiden Jokowi hingga akhir 2015 mencapai Rp 3.089 triliun setara 223,2 miliar dolar dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 27 persen.
Pada 2014 utang pemerintah mencapai Rp 2.608 triliun atau setara dengan 209,7 dolar AS dan rasio terhadap PDB 24,7 persen.
Dari data yang dirilis Kementerian Keuangan kondisi ini lebih rendah dibanding jumlah utang pemerintah pada tahun 1998 yang mencapai Rp 551,4 triliun atau setara dengan 68,7 miliar dolar AS dengan rasio utang terhadap PDB 57,7 persen.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB tahun 2015 ini jauh dibawah maksimal yang ditetapkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Pembiayaan utang pada 2015 mencapai Rp382,3 triliun ekuivalen dengan 27,6 miliar dolar AS. Tambahan utang neto itu tumbuh 50,9 persen dibanding tambahan utang neto tahun 2014 yang sebesar Rp253,2 triliun.
Kementerian Keuangan menyebutkan pertumbuhan utang itu sejalan dengan peningkatan di berbagai pos belanja infrastruktur antara lain pertumbuhan belanja modal Kementerian/Lembaga (K/L) 45 persen, pertumbuhan DAK 71,9 persen, pertumbuhan PMN 1200 persen dan alokasi baru Dana Desa.
Sedangkan itu untuk realisasi belanja negara akhir 2015 sebesar Rp 1.810 triliun.
Jumlah utang tersebut dipergunakan untuk belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp724,3 triliun. Belanja Non K/L sebesar Rp462,7 triliun, transfer ke daerah dan dana desa Rp623 triliun.
Selain itu terdapat pengeluaran pembiayaan untuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp70,4 triliun. Realisasi belanja negara dan pengeluaran PMN itu selain dibiayai dengan pembiayaan utang Rp382,3 triliun juga dibiayai dengan pendapatan negara Rp1.491,5 triliun.
Kementerian Keuangan menyatakan Pemerintah tetap menjaga risiko utang 2015 tetap terkendali.
Tercermin dari indikator risiko utang antara lain rata-rata jatuh tempo utang yang cukup panjang yaitu 9,7 tahun, merupakan jangka waktu yang sangat aman.
Porsi utang dalam mata uang Rupiah meningkat hingga mencapai 56,2 persen dari total utang sehingga menurunkan risiko terhadap perubahan kurs. Porsi utang dengan tingkat bunga tetap (fixed rate) sebesar 86,2 persen dari total utang, sehingga relatif aman terhadap perubahan tingkat bunga global.
Ekonom Universitas Sam Ratulangi Agus Tony Poputra mengungkapkan kondisi utang pemerintah karena kondisi ekonomi dan sosial serta fokus kebijakan yang berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Dia mencontohkan dengan uang Rp 1 juta saat era Presiden Soeharto dapat memperoleh banyak barang dan jasa. Namun seiring terjadinya inflasi dari tahun ke tahun, daya beli uang menurun drastik sehingga jumlah yang sama saat ini hanya memperoleh sedikit barang dan dan jasa. "Dengan demikian, kebutuhan belanja tidak besar," kata Agus di Jakarta, Sabtu (9/1/2016.