TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN) Sofyan Djalil mengatakan keputusan pengelolaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), akan diputuskan pada rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pasalnya masalah dua kekuasaan di wilayah Batam tidak cukup dibahas dalam rapat koordinasi antar kementerian dan lembaga saja.
"Ini harus dibawa ke Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) dulu terkait solusi dualisme pengelolaan," ujar Sofyan di kantor Kementerian bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (11/1/2016).
Dari hasil rapat koordinasi antara para menteri, telah menghasilkan beberapa solusi untuk pengelolaan BP Batam. Namun semua keputusan akan ditentukan oleh Presiden Jokowi terlebih dahulu.
"Nanti kita laporkan ke Ratas dulu. Pembagiannya nanti akan dibicarakan, kita sudah ada alternatif-alternatif, tapi saya belum bisa bicara," jelas Sofyan.
Sofyan menyebutkan rapat koordinasi revitalisasi kawasan industri dan perdagangan di wilayah Batam akan kembali digelar minggu depan. Jika dimungkinkan, Ratas juga akan segera digelar setelah itu.
"Mudah-mudahan minggu depan ada keputusan," harap Sofyan.
Sementara itu Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengaku masalah yang terjadi di BP Batam belum mendekati penyelesaian.
Alasan utamanya pemerintah pusat ingin Batam menjadi daerah pendorong aktivitas ekonomi secara lebih luas tanpa harus dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Batam bukan untuk dijadikan KEK," ujar Franky keluar dari ruang rapat koordinasi revitalisasi Batam.
Dari sudut pandang Franky, wilayah Batam, Bintan dan Karimum (BBK) akan dijadikan daerah pertumbuhan ekonomi. Melalui sektor industri dan perdagangan, Franky berharap Batam bisa lebih maju dibandingkan sekarang ini.
"Jadi BBK harus dilihat dalam konteks ekonomi yang lebih luas," jelas Franky.
Menurut Franky, perubahan Free Trade Zone (FTZ) menjadi KEK bukan masalah utama di wilayah industri dan perdagangan Batam.
Meski terjadi banyak protes dari para pekerja dan investor, namun isu yang harus diselesaikan menurut Franky adanya dua kekuasaan yang mengganggu iklim investasi.
"Nggak masalah dong. Banyak demo nggak masalah, adanya dualisme pengelolaan memang itu menjadi masalah tapi penyelesaiannya tentu tidak bisa buru-buru," ungkap Franky.
Franky menambahkan saat ini yang dibutuhkan para investor adalah regulasi yang tidak mempersulit kegiatan usaha.
Dalam hal ini banyak aturan tumpang tindih yang membuat bingung para pelaku usaha, baik calon investor maupun yang sudah lama berinvestasi di BP Batam.
"Harus memberikan kepastian untuk investor dan memberikan solusi untuk meningkatkan daya saing Batam," papar Franky.
Sedangkan Menteri Agraria dan Tata Ruang Feri Mursyidan Baldan menilai banyak kekuasaan yang tidak diatur dengan baik dari awal.
Menurut Feri penataan ruang dan regulasi harus segera diharmonisasikan agar tidak terjadi permasalahan yang sama di kemudian hari.
"Jadi supaya kita menatanya lebih benar, kita benahi aspek regulasinya," ujar Feri usai rapat koordinasi revitalisasi Batam.
Feri menjelaskan ada 14 regulasi yang mengikat BP Batam melalui UU Free Trade Zone.
Aturan tersebut diperkuat oleh Keputusan Presiden, sehingga sulit membuat aturan baru atau merevisi yang sudah ada.
"Nanti kita lihat lagi aturannya, karena ada banyak UU yang saling terkait," kata Ferry.
Selain regulasi, Feri ingin menata kembali tata ruang dan pembatasan kewenangan dari BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.
Karena selama ini, kedua badan tersebut bisa mengeluarkan regulasi tanpa ada koordinasi satu sama lain.
"Jadi supaya kita menatanya lebih benar, kita benahi aspek regulasinya," jelas Ferry.
Feri menambahkan dari segi tata ruang di wilayah Batam seharusnya utuh antara pengelola dari BP Batam dan pemerintah daerah kota Batam.
Menurut Feri saat ini konflik terjadi karena segi penataan tidak parsial.
"Jangan ada konflik tata ruang antara kabupaten dengan provinsi," kata Feri.