TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) mencatatkan realisasi Breakthrough Project (BTP) New Initiatives 2015 sebesar 608,41 juta dolar AS atau sekitar Rp 8,21 triliun, naik 21,68 persen di atas target awal sekitar 500 juta dolar AS.
BTP New Initiatives tersebut terdiri atas Sentralisasi Pengadaan (nonhidrokarbon), Perubahan Proses Pengadaan Crude dan Produk, Pembenahan Tata Kelola Arus Minyak, Optimalisasi Aset Penunjang Usaha, dan Corporate Cash Management.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan terdapat dua kontributor utama bagi pencapaian impak finansial BTP New Initiatives tersebut, yaitu pembenahan tata kelola arus minyak yang ditempuh dengan melakukan penekanan losses dengan nilai impak finansial sebesar 255,2 juta dolar AS, perubahan proses pengadaan minyak mentah (crude) dan produk melalui evaluasi formula harga serta efisiensi harga penjualan dan co-loading untuk parcel impor dengan nilai impak sebesar 208 juta dolar AS.
“Kontribusi lainnya untuk financial impact BTP 2015 berasal dari sentralisasi procurement sebesar 90 juta dolar AS, optimalisasi aset penunjang usaha sebesar 27,8 juta dolar AS, dan corporate cash management 27,3 juta dolar AS,” katanya, Selasa (19/1/2016).
Menurut Wianda, BTP merupakan salah satu indikator yang cukup reliable dalam mendukung lima prioritas atau lima pilar strategis yang sudah dilaksanakan serentak di seluruh lini perusahaan. Lima pilar strategis Pertamina adalah pengembangan sektor hulu, efisiensi di semua lini, peningkatan kapasitas kilang, pengembangan infrastruktur dan marketing, serta perbaikan struktur keuangan.
“BTP juga sebagai upaya mempercepat proses transformasi dalam mencapai visi dan misi Pertamina sebagai perusahaan energi nasional kelas dunia dan sebagai perusahaan negara yang memiiki kontribusi terbesar dalam mewujudkan ketahanan energi nasional,” katanya.
BTP Korporat 2015 terdiri atas 14 BTP New Initiatives dan 10 BTP proyek prioritas strategis. Khusus untuk BTP New Initiatives 2015 lebih banyak difokuskan pada pencapaian value creation atau efisiensi yang diharapkan dapat mendukung kinerja keuangan dalam mencapai pendapatan perusahaan.
Firlie H Ganinduto, pengamat migas, menilai kondisi saat ini sedang sulit dan memaksa perusahaan migas di mana pun untuk efisiensi biaya operasional. Namun, kalau dilihat dari operasional sektor hulu Pertamina, harus dilihat pofil dari masing-masing area.
“Pertamina kan punya field manager. Mereka harus melihat
operational lapangan ini dengan baik seefisien mungkin. Ini memang bukan isu baru, tapi harus diperhatikan. Mungkin harga minyak yang rendah memaksa untuk melihat harga seperti ini,” ujarnya.
Menurut Firlie, efisiensi mutlak harus dilakukan perusahaan. Tapi perusahaan harus melihat seluruh biaya yang terjadi. Artinya, memang harus pos biaya secara keseluruhan. Bukan hanya dilihat dari pegawai.
Dia mendorong Pertamina menjalin kerja sama operasi pada lapangan migas yang produksinya rendah. Perusahaan cukup menangani lapangan migas berskala menengah dan besar. Untuk lapangan yang produksi di bawah 1.000 barel per hari, Pertamina disarankan untuk menjalin kemitraan dan mitra tersebut yang menanggung seluruh biaya operasi.
”Tentu saja, mitra yang terpilih harus dipilih dengan baik dan punya rekam jejak yang bagus dan persyaratan yang ketat,” katanya.
Pertamina menurut Firlie punya prioritas lebih besar seperti pengembangan ladang migas besar serta pengembangan kilang-kilang baru. Perseroan disarankan tidak perlu memikirkan hal yang kecil. “Bisa saja, untuk meminimalkan PHK, bias dilakukan konversi karyawan dari hulu ke kilang. Sementara lapangan migas yang produksinya kecil dikelola oleh mitra melalui KSO,” katanya.