TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan Kilang Gas Blok Masela yang diusulkan oleh banyak pihak untuk dilakukan di darat berpotensi mengalami kemunduran jadwal akibat potensi konflik lahan yang sering terjadi di provinsi Maluku.
Persoalan akuisisi lahan memang merupakan salah satu faktor penghambat berbagai proyek di tanah air.
Anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Utusan Maluku, Yanes Balubun mengatakan konflik terkait lahan memang harus dihindari demi pengelolaan hasil tambang seperti minyak bumi dan gas.
"Perlu adanya assessment menyeluruh jika kemudian opsi darat yang dipilih. Urusan tanah sejak lama seringkali menjadi pemicu konflik di tanah Maluku, karena itu pembangunan industri harus sebisa mungkin menghindari hal tersebut," ujar Yanes dalam pernyataannya, Rabu(20/1/2016).
Yanes menjelaskan sering terjadinya konflik tanah di Provinsi Maluku yang beberapa diantaranya terjadi di daerah MT Bakan sangat tidak menguntungkan bagi aktivitas pembangunan kilang gas Masela yang rencananya akan dibangun di Pulau Yamdena dan dapat memperpanjang jadwal pembangunan infrastruktur.
"Dampak dari tertundanya pembangunan akan menyebabkan terlambatnya negara dalam menerima pemasukan dari penjualan gas, serta masyarakat Maluku yang harus menunggu lebih lama untuk merasakan manfaat yang diperoleh dari pengembangan lapangan gas alam terbesar di Indonesia," ujar Yanes.
Masyarakat adat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat lanjut Yanes, khususnya di kepulauan Tanimbar mengenal hukum tradisional dan konservasi sumber daya alam atau yang dikenal dengan sasi atau wam.
Sasi adalah perlindungan sumber daya alam yang mempunyai manfaat penting bagi masyarakat dengan memberlakukan aturan adat untuk melindungi hutan atau melindungi sumber daya hayati seperti beberapa jenis hasil laut, contohnya teripang dan batulaga yang mempunyai nilai ekonomi tinggi agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan.