TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peningkatan risiko kredit yang terjadi di sepanjang tahun lalu juga dirasakan oleh BNI Syariah.
Kendati berhasil membukukan kinerja kinclong dengan pertumbuhan pembiayaan 18% dan perolehan laba naik 39%, perseroan juga mewaspadai peningkatan rasio pembiayaan bermasalah alias non performing finance (NPF).
NPF anak usaha PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk tersebut tercatat naik dari 1,86% pada akhir tahun 2014 menjadi sebesar 2,53% di akhir tahun lalu. Pun demikian, perseroan telah menimbun pencadangan dan mengerek coverage ratio-nya hingga di kisaran 85%.
"NPF memang naik cukup tinggi, tetapi masih di bawah rata-rata industri bank umum syariah. Lini bisnis pembiayaan menyumbang rasio pembiayaan bermasalah paling besar ketimbang bisnis konsumer. Namun, kami menyiapkan berbagai strategi untuk menekan NPF," ujar Dinno Indiano, Direktur Utama BNI Syariah, Selasa (26/1/2016).
Pertama, menurut dia, pihaknya akan meningkatkan bisnis prosesnya agar lebih prudent. Kedua, bisnis modelnya pada lini usaha konsumer akan tetap dipertahankan, yakni pembiayaan rumah untuk nasabah dengan rumah pertama.
Ketiga, lanjut dia, BNI Syariah akan menjaga coverage ratio di atas rata-rata industri bank umum syariah. Coverage ratio tersebut bisa naik apabila risiko pembiayaan meningkat yang tercermin dari kenaikan NPF.
"Pencadangan dilakukan selama risiko pembiayaan meningkat dan tidak sejalan dengan ekspansi bisnisnya," terang dia.
Asal tahu saja, tahun ini, BNI Syariah mengincar pertumbuhan bisnis di kisaran 14% - 16% dalam rencana bisnis bank (RBB) yang disetor ke Otoritas Jasa Keuangan.
Target ini lebih rendah dari realisasi pembiayaan perseroan yang tumbuh 18% mencapai Rp 17,7 triliun dan perolehan labanya yang melesat 39,9% menjadi Rp 228,5 miliar. (Christine Novita Nababan)