TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha kayu menilai aktivitas bisnis mereka selama ini tidak mendapat dukung maksimum dari Pemerintah. Adanya Peraturan Menteri Perdagangan No. 89 tahun 2015 tentang ketentuan Ekspor Produk Kehutanan justru dituding menghambat usaha mendongkrak ekspor kayu Indonesia ke pasar luar negeri selama ini.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Liana Bratasida menilai, Permendag tersebut tidak mendukung penjelasan tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Aturan tersebut mengakibatkan ekspor kayu ke Uni Eropa terkena biaya uji tuntas (due dilligence) yang biayanya cukup mahal.
"Biaya due diligence tidak murah, sekitar 2.500 dollar AS per kiriman," ujar Liana di dalam diskusi bertajuk "Tantangan Era Standarisasi dalam Mendorong Ekspor Industri Hasil Hutan, Senin (7/3/2016).
Liana pun meminta pemerintah bisa merevisi Permendag tersebut. Karena biaya due dilligence justru memperlambat ekspor kayu ke luar negeri, karena para pengusaha harus mengumpulkan modal awal untuk membayar due dilligence.
"Mestinya pemerintah tidak ceroboh. Harus disikapi dulu dengan bijak," kata Liana.
Liana memaparkan Permendag tersebut juga mendapat protes dari Uni Eropa. Menurut Liana di Uni Eropa merupakan pasar utama yang menjadi barometer ekspor kayu di dunia.
"Jika diterima di sana, maka akan diterima juga di Amerika, Australia dan Asia," papar Liana.