TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Peluang pengembangan industri pengolahan kopi di dalam negeri masih cukup besar karena potensi konsumsi kopi, dan permintaan kopi dunia terus menanjak.
Apalagi Indonesia menjadi negara penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam dengan produksi rata-rata sebesar 685 ribu ton per tahun atau 8,9 persen dari produksi kopi dunia. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Dijelaskan, pertumbuhan kelas menengah dan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia turut mendorong konsumsi produk kopi olahan di dalam negeri meningkat rata-rata lebih dari 7 persen per tahun.
Untuk meningkatkan nilai tambah,industri olahan baik oleh industri besar maupun kecil menengah mesti dipacu dan didukung oleh pemerintah serta masyarakat.
"Kita punya 11 kopi khas daerah, lazim disebut indikator geografis seperti kopi Gayo, Sindoro-Sumbing, Toraja. Belum lagi kopi yang diolah langsung rekan-rekan petani dan kelompok tani,"katanya Menteri Saleh Husin berpromosi, pada Pembukaan Rapat Umum Anggota (RUA) IX Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) di Jakarta, Kamis (10/3).
"Salah satu dukungan nyata, bisa dilakukan saat kita jalan-jalan, belilah kopi-kopi di daerah yang kita sambangi," tambahnya.
Saat ini sudah ada 11 kopi Indonesia yang telah mempunyai indikasi geografis yaitu Kopi Arabika Gayo, Kopi Sumatera Arabika Simalungun Utara, Kopi Robusta Lampung, Kopi Arabika Java Preanger.
Kemudian Kopi Java Arabika Sindoro-Sumbing, Kopi Arabika Ijen Raung, Kopi Arabika Kintamani Bali, Kopi Arabika Kalosi Enrekang, Kopi Arabika Toraja, Kopi Arabika Flores Bajawa, dan Kopi Liberika Tungkal Jambi.
Indonesia juga memiliki berbagai jenis kopi specialty yang dikenal di dunia, termasuk Luwak Coffee dengan rasa dan aroma khas sesuai indikasi geografis yang menjadi keunggulan Indonesia.
Menteri Saleh juga menyinggung soal antusiasme anak-anak muda melakukan perjalanan ke sudut-sudut Tanah Air.
"Sekarang makin banyak anak muda yang gemar 'travelling'. Nikmatnya jalan-jalan, salah satunya menyesap kopi setempat. Jangan lupa beli untuk oleh-oleh," ujar Menperin.
"Ketika minum juga difoto, selfie dan sebutin nama daerah asal kopinya saat diunggah di media sosial. Promosi sederhana ini efektif turut membantu industri olahan kopi," katanya.
Dia juga mengajak membawa beberapa bungkus kopi khas Indonesia keluar negeri sebagai souvenir untuk kolega dan teman di negeri seberang.
Kemenperin mencatat, prospek pengembangan industri pengolahan kopi di Indonesia masih cukup baik,konsumsi kopi masyarakat Indonesia rata-rata baru mencapai 1,2 kg perkapita per tahun atau di bawah negara-negara pengimpor kopi seperti USA 4,3 kg.
Kemudian Jepang 3,4 kg, Austria 7,6 kg, Belgia 8,0 kg, Norwegia 10,6 Kg dan Finlandia 11,4 Kg perkapita per tahun.
Ekspor produk kopi olahan tahun 2015 mencapai USD 356,79 juta atau meningkat sekitar 8 persen dibandingkan tahun 2014.
Ekspor produk kopi olahan didominasi produk kopi instan, ekstrak, esens dan konsentrat kopi yang tersebar ke negara tujuan ekspor seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura, China dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu, nilai impor produk kopi olahan pada tahun 2015 mencapai USD 106,39 juta. Negara asal impor terbesar adalah Malaysia, Brazil, India, Vietnam, Italia dan Amerika Serikat.
Meski demikian, dengan kondisi impor tersebut, neraca perdagangan internasional produk kopi olahan Indonesia masih mengalami surplus sebesar USD 250,40 juta.
Kementerian Perindustrian mendorong pengembangan industri perkopian di dalam negeri dari hulu sampai hilir sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional.
Ini sekaligus untuk mengimbangi arus ekspor biji kopi yang masih dominan dibanding pengolahan di dalam negeri
"Pengembangan industri kopi nasional masih perlu ditingkatkan karena saat ini baru mampu menyerap sekitar 35 persen produksi kopi dalam negeri dan sisanya sebesar 65 persen masih diekspor dalam bentuk biji," ungkap Menperin.
"Untuk itu, kami mengharapkan semoga ke depan AEKI dapat lebih berperan bersama Pemerintah mengembangkan industri perkopian di Indonesia. Jadi tidak hanya di bidang ekspor kopi saja, tetapi juga mengembangkan di bidang industri pengolahan kopi," ujarnya.
Turut hadir Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang dan jajaran pengurus AEKI yang pimpin Ketua Umum AEKI Irfan Anwar.
"Pemangku kepentingan atau stakeholders industri kopi kita mencapai 2 juta, dari petani, pengolah, pelaku usaha coffe-shop, perusahaan hingga eksportir," kata Irfan.
"AEKI membuka diri untuk semua masukan dan kerja sama mengembangkan kopi untuk memantapkan diri di domestik maupun di pasar global," tambahnya.
Pemerintah bahkan telah menggelar Rapat Pengembangan Perkopian Nasional di Lampung dan dipimpin langsung oleh Wapres RI Jusuf Kalla, Februari lalu.
Dua menteri yaitu Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian hadir pada rapat tersebut, termasuk tiga gubernur dari beberapa provinsi produsen kopi seperti Lampung, Jambi dan Sumatera Utara.
Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengatakan, pihaknya telah memfasilitasi melalui beberapa kebijakan strategis antara lain industri pengolahan kopi masuk dalam industri pangan dan prioritas untuk dikembangkan.
"Selain itu pemerintah telah memberikan fasilitas pajak penghasilan, berdasarkan PP No.18 Tahun 2015 untuk investasi baru industri pengolahan kopi (KBLI 10761) di beberapa daerah di luar Jawa," kata Panggah.
Pemerintah juga melakukan harmonisasi tarif bea masuk (MFN) produk kopi olahan (kopi sangrai, kopi bubuk, kopi instan, kopi mix) dari 5 persen menjadi 20 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No.132 Tahun 2015.
"Harmonisasi tarif ini dimaksudkan untuk memberikan iklim berusaha yang kondusif bagi industri pengolahan kopi di dalam negeri," tegasnya
Kemenperin juga telah memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kopi Instan secara wajib yang mulai berlaku secara efektif pada tanggal 17 Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 87/M-IND/PER/10/2014.