TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya restorasi gambut dipastikan tidak akan menghentikan kegiatan budidaya yang sudah berjalan selama ini. Kegiatan budidaya baik perkebunan dan hutan tanaman masih bisa dijalankan dengan pengelolaan tata air gambut.
“Arahnya adalah pengaturan tinggi muka air agar gambut tetap lembab dan tidak mudah terbakar,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead kepada wartawan pada Rapat Koordinasi Restorasi Gambut di Jakarta, Senin (14/3/2016).
Hadir dalam rapat tersebut menteri Koordinasi bidang Politik Hukum dan Keamanan, Luhut B Panjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono, serta Gubernur Jambi Zumi Zola dan Plt Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rahman.
Untuk mengatur tinggi muka air, maka penting untuk membuat sekat kanal. Menurut Nazir, saat musim kemarau dan gambut diperkirakan akan mengalami kekeringan, maka sekat kanal harus ditutup. “Jika sudah hujan berhari-hari dan banjir, dibuka sebagian tidak apa-apa,” katanya.
BRG saat ini sedang menyusun panduan tentang pengelolaan tata air gambut yang bisa diacu oleh masyarakat dan perusahaan pengelola lahan gambut. Penyusunan panduan tersebut menggunakan pendekatan ilmiah dan mempertimbangkan praktik-praktik pengelolaan yang sudah ada selama ini di lapangan.
Sementara itu Menteri PUPR Basuki berdasarkan identifikasi ada 33,4 juta hektare lahan rawa dimana sekitar 20,2 juta diantara adalah rawa gambut. Saat ini Kementerian PUPR berkoordinasi dengan Badan Informasi geospasial sedang menyusun peta rawa untuk mendukung sesuai UU No 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospatial dan Peraturan Menteri PUPR No 29/PRT/M/2015 tentang Rawa.
“Penetapan rawa ini diperlukan untuk menentukan jenis rawa yaitu apakah tergolong Fungsi Lindung atau Fungsi Budidaya,” katanya.
Basuki mengusulkan agar dilakukan pengelolaan adaptif untuk rawa gambut, yang telah dikembangkan namun berada dalam fungsi lindung.
“Jika ada lahan perkebunan yang sudah dibangun pada areal gambut dengan fungsi lindung. Maka dilakukan dengan pengaturan tata air rawa untuk menjaga lahan tetap basah,” kata Basuki.
Basuki menuturkan, pemanfaatan lahan rawa gambut untuk kegiatan budidaya sejatinya bukan hal baru di Indonesia. Tahun 1920-an masyarakat sudah melakukan budidaya secara swadaya yang luasnya mencapai. Baru pada 1980-an, budidaya di lahan gambut dilakukan perusahaan untuk kegiatan budidaya.