TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Knight Frank Indonesia memprediksi penjualan properti tahun ini hanya 5 persen hingga 10 persen, sejalan dengan tingkat inflasi. Penjualan membaik dikontribusi oleh segmen menengah bawah.
Sementara pertumbuhan harga properti diperkirakan sejalan dengan tingkat penjualan sekitar 10 persen hingga 15 persen.
"Tahun ini akan lebih baik dibanding 2015. Namun cenderung konservatif dan hati-hati karena ketidakpastian ekonomi global dan lokal," ujar Country Head Knight Frank Indonesia, Wilson Kalip, Senin (21/3/2016).
Pasar properti, kata Wilson, masih akan tetap menarik dan positif untuk periode jangka panjang. Terlebih peluang dan kesempatan pengembangan berada di kota-kota lapis kedua.
Optimisme Wilson tecermin dari serapan kredit pemilikan rumah (KPR). Meski melambat, KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) masih tumbuh sebesar 6,3 persen pada 2015 dibanding 12,8 persen tahun sebelumnya.
Total kredit properti juga masih menunjukkan kenaikan sebesar 11,9 persen ketimbang 17,3 persen pada tahun 2014, sehingga total kredit properti yang disalurkan sampai Desember 2015 mencapai Rp 620, 4 triliun.
Sedangkan rasio jumlah total kredit KPR/KPA terhadap total kredit properti sekitar 54,4 persen.
"Di sisi lain, kebijakan pengetatan kredit yang sudah dilakukan Bank Indonesia (BI) sejak 2014 berhasil mengerem laju pertumbuhan properti," kata Wilson.
Associate Director Consultancy and Research Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji mengakui, untuk mencapai pertumbuhan tersebut memang tidak semudah membalik telapak tangan.
"Adan banyak tantangan siap mengadang," imbuh Hasan.
Tantangan tersebut, terutama perekonomian yang melambat, kebijakan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan properti, kebijakan KPR inden, kenaikan suku bunga KPR, dan kenaikan biaya konstruksi akibat melemahnya rupiah.
Selain itu, tantangan lainnya adalah kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan upah minimum regional, revisi pajak barang mewah, berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan larangan menggunakan mata uang asing untuk transaksi di sektor properti.
"Semua itu membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan masyarakat serta stake holder lainnya untuk tidak berspekulasi," sambung Hasan.
Penulis : Hilda B Alexander