TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Para produsen rokok di Indonesia terngah berharap-harap cemas. Kecemasan muncul seiring dengan kebijakan eksperimental kemasan polos tanpa merek di Australia.
Kebijakan kemasan polos yang diberlakukan di Australia pun dikhawatirkan akan diikuti oleh negara-negara lain. Pada tahun 2016, sejumlah negara menyatakan akan turut menerapkan kebijakan serupa, antara lain Irlandia, Inggris Raya, dan Prancis.
Atas dasar itu, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyatakan, kebijakan Australia berpotensi menggerus daya saing industri hasil tembakau (IHT) Indonesia.
Tak hanya itu, Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia (Gappri) ikut ambil suara. Hasan Aoni, Sekretaris Jenderal Gappri menjelaskan, kemasan polos akan mengganggu hak berekspresi sebuah produk legal.
Apalagi, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109 Tahun 2012) tidak menyebutkan soal plain packaging alias kemasan polos.
"Jadi ada tiga hal utama soal kemasan polos ini. Salah satunya soal tipologi produk dengan plain packaging. Ini masuk ke hal ke dua yakni bisa memacu produk rokok palsu atau ilegal," terang Hasan, Rabu (6/4/2016).
Hasan menuturkan, berdasarkan riset dua tahunan, peredaran rokok ilegal mencapai 11,2% pada tahun 2013 atau 2014 lalu. Jumlah itu, meningkat sekitar 2%-3% dari tahun sebelumnya berkisar 9% dari total rokok yang beredar.
Kebijakan plain packaging juga akan memicu kerugian. "Yang rugi bukan saja pengusaha rokok. Tapi juga negara. Karena negara sudah pasti tidak akan mendapat pemasukan pajak dari rokok ilegal," ujar Hasan.
Untungnya, kata Hasan, jumlah ekspor rokok Indonesia ke Australia memang tidak besar. Tapi dia mengkhawatirkan, kebijakan negara yang dekat dengan Indonesia bisa berpengaruh secara psikologis kepada negara-negara di sekitarnya.
Reporter: Issa Almawadi